Perjalanan ke Pulau Dewata untuk acara Ubud Food Festival 2019 Presented by ABC beberapa waktu lalu tidak hanya memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu para chef ternama dengan predikat luar biasa. Festival kuliner yang didukung oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia tersebut, membekali saya pulang ke Jakarta bersama pengalaman yang bisa jadi sekali seumur hidup.
Salah satu kegiatan dari rangkaian festival kuliner ini adalah Masterclass, yaitu sesi demo memasak yang dibawakan oleh chef-chef ternama dari berbagai penjuru dunia. Salah satu yang saya hadiri adalah demo memasak yang dibawakan oleh Luca Fantin, Executive Chef di Il Ristorante, Bvlgari Ginza Tower, Tokyo, Jepang. Saya pun tak ingin melewatkan kesempatan untuk bercengkrama berdua dengannya.
Sedikit perkenalan tentang Chef Luca, ia telah menggaet sederet predikat luar biasa, salah satunya "Best Italian Chef in the World" oleh Identità Golose Magazine pada tahun 2017. Di bawah naungannya, Il Ristorante, juga meraih penghargaan 1 Micheline Star dan menduduki peringkat ke-18 dalam daftar Asia's 50 Best Restaurants 2019.
Yang saya lihat menarik dari Chef Luca adalah bagaimana ia tetap persisten dalam menyajikan hidangan otentik negara asalnya, meski kini ia bekerja di Jepang. Dan menariknya lagi, keotentikan tersebut justru memberinya penghargaan bergengsi. Hal ini membuat saya mengerutkan dahi, teringat di Ibu kota belakangan ini, restoran-restoran dan beberapa chef justru banyak yang memodifikasi kuliner tradisional habis-habisan dengan alasan agar lebih kekinian ataupun agar dapat lebih diterima oleh market internasional. Dalam sesi wawancara eksklusif ini, ia kembali menyadarkan saya betapa pentingnya untuk terus menjadi diri sendiri.
"Some people start to put their idea and interpretation of what Italian foods are, and make something different from the real Italian foods. You can not change traditional recipes that much. You may modify a little bit to make it better, but you can not change it [entirely -red]. What we do, we never change our line, this is our style of cuisine, this is our philosophy, and we never change that. If you keep changing who you are, nobody knows who you are!"
- Luca Fantin
Dalam demo memasaknya siang itu, Chef Luca mengajari kami cara membuat hidangan andalannya, yaitu Risotto Carnaroli. Dibutuhkan proses panjang untuk mempersiapkan hidangan ini, salah satunya dengan merendam risotto di dalam parmesan water dan bahkan biji carnaroli yang ia gunakan diproses selama tujuh tahun lamanya. Ia menyatakan bahwa di restorannya, ia menggunakan beberapa bahan dari Jepang, namun untuk resep hidangan, ia tetap berpacu pada resep otentik dari Italia.
Berikut ini beberapa hasil perbincangan eksklusif saya dan Chef Luca yang dirasa cukup menarik untuk disimak!
Named as 'The Best Italian Chef in the World' 2017, how do you react to that recognition and do you feel that as a burden, somehow?
We don't focus on some recognition or some prize or whatever. We feel very happy but every time we get recognition, we have like this responsibility to be better and better in what we're doing. When we were informed about it, we were very proud and very emotional. How many better chefs than me are there around the world? A lot, I believe. I can not be the only one.
Where do you think you gained the skill to be the best Italian chef in the world from?
I am not saying that I am the best Italian chef. But my motivation is the passion that I put on my work every day. I always try to improve, to focus, to find a new way to be who I am. When I do my work, it's not about money, it's not about magazine, it;s not about recognition, it's only about my passion.
Do you still remember the first time you cooked? How old were you?
I was 19 or 20 when I organized my brother's wedding.
What do you think about Indonesian food?
Very nice. They are beautiful. I've been to several restaurants [in Bali -red]. I do not remember the name, but I really like how they present the dish, with the flowers, with leaves; Beautiful!
Do you have any favorite?
I went to Locavore, I ate one duck dish [Bebek Tanah -red], that was cooked in clay, presented with chilies, Indonesian spices, and lettuce.