Baru-baru ini sebuah posting dari teman lama menghampiri timeline saya. Ia adalah seorang pria berprofesi fashion desainer yang pernah mencuat namanya pada awal tahun 2000-an. Dalam postingan itu ia menceritakan sebuah keberadaannya saat ini, bahwa ia lebih membumi dan apa adanya.
Seperti kita ketahui bahwa kehidupan di dalam dunia glamorama fashion tentulah sangat jauh dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Dapat dikatakan dunia yang mengagung-agungkan estetika itu terkadang memiliki sedikit toleransi kepada hal-hal kecil yang dinilai tidak sempurna, tidak bersih dan tidak berkelas. Maka tak mengherankan jika publik seringkali merasa terintimidasi dengan bahasa tubuh yang kami utarakan.
Perbedaan frekuensi inilah yang mempersulit kami yang berada di ranah fashion untuk membaur dengan mereka yang tidak sadar fashion. Lantas salah siapa? Salahkah kami jika mempunyai selera tinggi dan standar diatas rata-rata? Sementara value yang kami jual untuk melanjutkan hidup adalah dari taste yang kami punya.
Dalam postingan teman saya tersebut ia menceritakan bahwa saat ini, ia lebih memilih untuk mencukur rambutnya di barber shop pinggir jalan. Yang mana upah sekali potong rambut hanya berkisar antara Rp 20.000,- sampai dengan Rp 30.000,-. Padahal dulunya ia enggan sekali menginjakkan kaki ke tempat seperti itu. Dua puluh tahun lalu ia mewajibkan dirinya secara teratur untuk menyambangi salon yang membanderol harga minimal Rp 300.000,- untuk upah potong rambut pria.
Maka dapat dibayangkan berapa budget yang harus dikeluarkan apabila dalam satu bulan ia kembali ke salon tersebut sebanyak dua kali. Belum lagi ditambah extra tip yang harus diberikan kepada sang hair stylist? Disisi lain tentu godaan tawaran untuk creambath, cat rambut dan treatment lainnya sulit untuk dihindari.
Apakah manusia yang bertambah usia, seiring dengan menurunnya metabolisme, menjadi menurun pula standar hidupnya? Kerap kali saya pun merefleksikan pertanyaan itu kepada diri saya sendiri. Dulu ketika saya masih menduduki posisi CEO dan Editor-in-Chief saya pun enggan untuk menggunakan armada ojek, Transjakarta dan kendaraan umum lainnya. Seringkali saya berpikiran apa jadinya apabila orang lain melihat saya. Terkesan tidak menjaga image perusahaan, sembarangan dan kurang menjaga kelas.
Bahkan saya pun akan merasa resah jika kaos kaki saya berwarna tidak sepadan dengan outfit yang dikenakan (padahal tidak ada seorang pun yang melihat warna kaos kaki yang tertutup sepatu itu). Segala printilan kecil yang tak pantas dipusingkan, nyatanya mempengaruhi mood dalam keseharian.
Diluar segala fasilitas dan titel yang saya miliki saat itu, nyatanya saya bukanlah orang bahagia. Saya selalu memiliki perang bathin dengan segala hal yang saya miliki.
Empat tahun saya mengundurkan diri dari posisi saya. Dan lebih berfokus kepada sesuatu hal yang lebih slow, ternyata hidup terasa lebih nyaman. Walaupun dalam sisi finansial dapat dikatakan sangat fluktuatif.
Menjadi perkerja lepasan dalam berbagai bidang nyatanya gampang-gampang susah. Sulitnya adalah ketika kita harus memperjuangkan invoice setelah selesai bekerja. Yang dapat dihutangi klien hingga tiga bulan, bahkan lebih. Belum lagi masalah dealing harga suatu pekerjaan yang ditekan seenaknya oleh pihak klien. Jam terbang, kualitas dan value yang telah diinvestasikan selama ini tak dilirik sama sekali.
Beberapa minggu yang lalu sebuah majalah franchise pun menghubungi saya, dan menawarkan saya untuk bergabung bersama mereka. Namun hati kecil saya mengatakan bahwa ini bukanlah skenario yang saya inginkan. Saya yakin harus lebih sabar dalam menunggu sesuatu yang lebih baik lagi untuk saya. Setidaknya sebuah pelajaran besar sudah saya dapatkan. Bahwa saat ini saya tidak sedang berjuang untuk hidup, melainkan saya sedang berlajar berdamai dalam hidup.
“Bahwa berdamai dengan keadaan, jauh lebih indah”
Opening photo by Spencer Selover - Pexels.com