Sebuah perhelatan musik tahunan yang secara konsisten dilaksanakan selama 10 tahun terakhir, kembali menyapa kota Jakarta nan Indah ini. Festival musik yang memilih bulan di pertengahan tahun ini, diadakan pula tepat di jantung kota ini. Ya, WTF atau yang biasa dikenal dengan nama We The Fest tersebut kembali diadakan di Gelora Bung Karno – Senayan.
Akhir pekan di minggu ini pun diwarnai dengan lampu-lampu kendaraan yang merambat di area Jakarta Selatan. Dan tanpa perlu disangkal pula bahwa keadaan kendaraan berhenti total di depan di area perhelatan tersebut. Mungkin hal ini adalah suatu hal yang lumrah bila kemacetan tersebut disebabkan oleh suatu perhelatan, namun tidak kah ada cara lain untuk mengubah eksekusi tersebut, yang mana hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari.
Setiap pagi melihat lalu lintas kota ini kian menjadi-jadi. Berkendara di mobil untuk berangkat bekerja, mata sudah dilelahkan dengan pemandangan yang sesak dan amburadul. Belum lagi kualitas udara yang kita hirup sudah tidak layak sama sekali. Maka dua Indera kita sudah disiksa setiap paginya untuk mengalami kehancuran tersebut.
Nah, ketika akhir pekan tiba apakah kita harus disiksa lagi dengan kehiruk-pikukan tersebut. Bagi mereka yang memiliki kepentingan untuk hadir ke festival musik tersebut, mungkin kemacetan menjadi sebuah harga yang harus dibayarkan. Sementara bagi mereka yang tidak berkepentingan namun tak ada pilihan lain dan harus melalui area tersebut, yang tentu menjadi sebuah malapetaka.
Jakarta yang telah memiliki berbagai fasilitas umum yang baik, nyatanya tetap tidak mampu mengatasi kepadatan lalu lintas disetiap harinya. Apakah fasilitas tersebut terlambat menjejaki kota ini, ataukah memang sudah terlalu besarnya jumlah manusia di kota ini.
Kerap kali saya membandingkan dengan negara tetangga lainnya, dan dari hasil penglihatan saya adalah jalan-jalan di kota ini tidak mumpuni untuk dikatakan sebagai jalan kendaraan. Lajur dua arah yang ada di kota ini masing-masing hanya diperuntukkan bagi satu kendaraan. Sementara disamping kiri dan kanan diisi dengan parkiran mobil/motor, tempat usaha, belum lagi ada galian kabel, warung dan lain sebagainya, yang menyebabkan jalanan semakin mengecil dan tak wajar.
Pertanyaannya bagaimana Masyarakat di kota ini bisa bertahan dan akan sampai kapan dapat berdamai dengan polusi mata, polusi telinga dan tentu polusi udara. Seberapa kuat masyarakat di kota ini bisa menahan apa yang dikatakan oleh Gen-Z dengan ‘Kena Mental’ .
Nah, masih ingin di Jakarta? Gak pengen pindah?
Foto: Ferliana Febritasari