"Enak banget Met kerjaannya, digaji buat makan dan jalan-jalan, ya?," kata kebanyakan orang yang melihat saya melalui media sosial. Izinkan saya mewakili setiap individu yang bekerja di industri media, percayalah, kenyataannya tidak selalu seperti yang dibayangkan. Ya, kami perlu bersyukur untuk setiap hidangan lezat yang kami santap tanpa harus memusingkan soal berapa banyak uang yang harus kami keluarkan. Ya, kami pun perlu bersyukur untuk kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat yang sebelumnya mungkin hanya terlihat melalui layar kaca saja. Dan, tentu, kami sangat bersyukur untuk bisa diterbangkan ke berbagai destinasi dan menginap di hotel mewah. But, trust me, a work is still a work.
"Find your passion and it is no longer a work," kata quotes di zaman ini. But, again, the truth is, a work is still a work. Pekerjaan adalah suatu tanggung jawab yang tidak dapat dilepaskan begitu saja ketika rasa bosan dan letih menerpa. Sebut saja, menghadiri sebuah acara milik bar ternama dengan hidangan lezat dan pemandangan kota di malam hari tentu terlihat menyenangkan. Namun, di pukul 7 malam dan perlu menerjang kemacetan, ditambah lagi bertemu dengan orang-orang yang tidak terlalu Anda kenal, apakah akan selalu terasa menyenangkan? Belum lagi Anda harus membatalkan janji demi dapat menghadiri acara tersebut. Di saat Anda memiliki jam pasti untuk pulang, kami perlu siap dengan undangan yang seringkali datang secara tiba-tiba.
Even an extrovert like me gets tired. Ya, mungkin saya perlu mengakui bahwa saya lelah. Sebisa mungkin saya selalu memilih untuk menghabiskan akhir pekan di dalam rumah. Ah, itupun jika tidak sedang ada undangan media (ya, kami pun terkadang harus bekerja di akhir pekan meskipun tidak sering). Yang saya kerjakan juga sama dengan apa yang sedang Anda kerjakan saat ini. Tidak berbeda, hanya saja bungkusannya terlihat lebih menarik. Namun, tetap sama saja, tetap sebuah pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menghasilkan uang. Tetap sebuah pekerjaan yang membutuhkan pikiran dan tenaga untuk dapat menghasilkan yang terbaik. Hanya karena pekerjaan yang saya kerjakan saat ini adalah sesuatu yang saya cintai, tidak berarti bahwa pekerjaan itu menjadi hal yang mudah untuk dikerjakan. Tidak, untuk saya pribadi, sungguh tidak sesederhana itu.
Yang Anda lihat adalah makanan lezat yang saya tampilkan melalui media sosial saya. Namun, yang saya pikirkan adalah bagaimana mengubah makanan ini menjadi sebuah artikel yang menarik dan dibaca orang, apalagi jika jenis hidangan yang sama sudah begitu banyak ditulis sebelumnya. Yang Anda lihat adalah kesempatan saya mewawancari seorang figur publik ternama yang selama ini selalu dielu-elukan namanya. Namun, yang terjadi sesungguhnya adalah proses panjang yang begitu rumit mulai dari mempersiapkan pertanyaan, bekerja sama dengan penata gaya, penata rias, dan fotografer untuk menghasilkan karya yang memuaskan mata client, pembaca, dan tentu, figur publik itu sendiri. Yang Anda lihat adalah saya diterbangkan ke Bali untuk menghadiri sebuah acara besar dan menginap di hotel yang nyaman. Namun, percaya atau tidak, kali itu justru menjadi titik paling melelahkan saya bekerja di sebuah industri media. Ah, saya baru saja setahun tiga bulan bekerja di sini. Bagaimana dengan mereka yang lain?
Saya yakin, hampir semua individu yang bekerja di industri media pernah merasakan hal yang sama. Senyum yang terpasang berjam-jam di hadapan banyak orang selama acara berlangsung seketika lenyap ketika beranjak keluar dari ruangan. Sama seperti yang Anda rasakan ketika meninggalkan ruangan kantor. Oh, Anda bahkan tidak perlu memasang muka seolah-olah bersemangat ketika sedang berhadapan dengan layar komputer, bukan? No, boss, this is not a resignation letter. Ini merupakan sebuah bentuk pengakuan bagi mereka yang mungkin menganggap remeh pekerjaan seorang jurnalis di industri media lifestyle. Percayalah, kami juga bekerja, kami juga berjuang.