Takaran dan Racikan dalam Bercinta

Love is a losing game, and no player is winning.
Ilustrasi seni: Fidya Zahra (@fidyzahra)

 

Saya belajar banyak mengenai percintaan sebulan ­belakangan ini. Saya belajar untuk mengerti bahwa cinta tidak berarti dua pemikiran harus menjadi satu. Saya belajar untuk memahami bahwa cinta seharusnya ­tidak pernah dilandasi oleh ketakutan, melainkan keyakinan. Saya belajar untuk menyadari bahwa cinta seharusnya tidak melibatkan ambisi untuk menang, melainkan kerelaan untuk kalah. Saya juga belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada cinta yang tanpa cela. Tapi dari semuanya, pelajaran yang paling berarti bagi saya adalah bahwa terkadang, berani mencinta artinya justru berani melumpuhkan diri dari segala rasa.

Untuk membuat sebuah hidangan nikmat, Anda butuh banyak hal. Anda butuh bumbu untuk memberi lezat. Anda butuh bahan baik untuk membuatnya berkualitas. Anda bahkan juga butuh kegagalan terlebih dulu di masa lalu untuk dijadikan pembelajaran, sehingga tak mengulangi kesalahan yang sama di kesempatan selanjutnya. Tapi percayalah, tak satupun dari banyak juru masak hebat yang pernah saya temui tahu secara pasti racikan sempurna untuk membuat setiap manusia merasa puas. Karena pada dasarnya, yang disebut rasa itu memang tidak pernah memiliki ukuran atau takaran pasti agar menjadi sempurna. Rasa asin, rasa manis, rasa senang, rasa marah, termasuk pula rasa cinta, selalu berbeda bagi tiap manusia.

Bertukar Bumbu
Selama ini, saya berpikir bahwa ketika memadu kasih, pasangan saya harus memasak hubungan kami sesuai dengan takaran yang saya ­anggap sempurna. Saya suka sepanci hubungan dengan tujuh sendok garam. Jadi kalau dia benar-benar cinta saya, ia seharusnya ­memasukkan tujuh sendok garam. Saya suka seteko hubungan ­dengan enam sendok gula. Gulanya pun juga harus gula merah, ­bukan gula pasir seperti yang ia sukai. Maka, saya selalu berharap dalam hati bahwa ia akan memasukkan enam sendok gula merah demi saya. Saya selalu beranggapan bahwa takaran kualitas sebuah hubungan adalah ketika pasangan saya selalu rela, bersedia, dan sudi. Akhirnya belakangan ini saya mengerti, bahwa tidak begitu caranya menjalani permainan yang disebut cinta. 

Yang saya sadari adalah bahwa sebuah hubungan terdiri dari dua manusia yang mencintai bersama-sama. Berhubungan bukan ber­arti memenangkan salah satu di antaranya, melainkan keduanya ­harus bersama-sama berlomba untuk mengalah. Seorang rekan kerja ­berkata, “Bahasa kasih setiap orang selalu berbeda”. Takarannya tak pernah sama. Di sinilah saya baru tahu arti sesungguhnya dari kalimat “Mengalah untuk menang”. Langkah awal untuk mencinta adalah melebur egoisme. 

Lalu, pertanyaan selanjutnya pun muncul. Di mana letak kebahagiaan dalam sebuah hubungan, jika kita terus merasa kalah? Bagi saya, selama Anda masih mampu merasa bahagia dalam kekalahan, itulah takaran apakah sebuah hubungan pantas untuk dipertahan-kan atau tidak. 

My best friend, Elvina, once told me that being in a relationship is a part of ­learning, where two people are together striving to be better individuals.  Love is a losing game, and no player is winning. You just have to lose to love.