Apakah Anda pernah mendengar Nuanu City? Letaknya ada di daerah Tabanan, Bali. Minggu lalu, saya diundang mereka untuk menghadiri pembukaan Labyrinth. Tenang saja, saya buka dijebak dalam "labyrinth," tapi ini adalah babak baru dalam dunia seni dan budaya Bali. Dengan dua ruang inovatif, The Dome dan Art Centre, di kawasan kreatif Nuanu, ruang ini menjadi langkah strategis untuk mempererat hubungan antara seni, teknologi, dan komunitas global.
Didirikan dengan visi memadukan seni, spiritualitas, dan komunitas, Labyrinth bertujuan menciptakan lingkungan yang mendorong kreativitas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal. "Kami percaya pada pentingnya membangun ekosistem yang merayakan inovasi dan berkontribusi untuk keberlanjutan," ujar Labyrinth Collective. Visi ini diwujudkan melalui fasilitas canggih yang tidak hanya memberikan pengalaman imersif, tetapi juga mempromosikan kolaborasi lintas budaya.
CEO Nuanu, Lev Kroll, menambahkan, "The Dome dan Art Centre lebih dari sekadar tempat. Ini adalah platform untuk kreativitas global, yang menghubungkan talenta internasional dengan kekayaan warisan Bali."
Di The Dome, Anda bisa menyaksikan atraksi tarian kecak imersif di atas lahan seluas 600 meter persegi, dengan atap kubah 360 derajat yang mengelilingi Anda. Bahkan sebelum memulai tarian, Anda disajikan dengan penampilan berbeda dengan tarian kecak pada umumnya. Tarian Bali Mystic ini akan menjadi program reguler mereka, yang menggabungkan seni tradisional Bali dengan teknologi modern, serta sesi 432Hz Sound Healing untuk penyegaran holistik. Di Nuanu City, para penari menggunakan lampu berwarna-warni dan efek asap untuk menghidupkan suasana. Selain itu, tidak ada barong besar, tetapi para penari membawa kain putih bergambar barong.
Bersebelahan persis dengan Dome, terdapat Labyrinth Art Centre seluas 3.000 meter persegi. Galeri seni ini membuka pintunya dengan pameran bertajuk The Paths of Silence, menampilkan 23 seniman lokal dan internasional. Dibuka secara meriah dengan pemberkatan dari Yang Mulia Shyalpa Tenzin Rinpoche, seorang vajra master Buddha Himalaya, dan pertunjukan musik jazz.
Setelah ngobrol lebih dalam dengan Baptiste Sejourne, Pierre Alain Menu, dan Rafael Jimenez sebagai tim dari Labyrinth, kita semakin terpukau dengan pernyataan bahwa mereka berkomitmen menyisihkan 5% dari pendapatan bruto untuk proyek lingkungan dan komunitas lokal, mencerminkan dedikasinya terhadap keberlanjutan. Bahkan mereka juga mendidik anak kecil dari mancanegara untuk belajar alat musik. Ke depannya, Rafa menyatakan akan menargetkan banyak anak Indonesia yang mereka didik melalui strategi penggunaan bahasa Indonesia.
Labyrinth membuka ruang untuk pengalaman baru yang tak hanya memadukan seni dan teknologi, tetapi juga menghubungkan budaya lokal dengan global.