Pernahkah Anda berpikir, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu buah kain tenun? Tahukah Anda, kalau kain tenun punya berbagai motif dan tidak hanya tersedia dalam warna “gonjreng,” tapi juga menawarkan berbagai warna-warna lembut?
Beberapa waktu lalu, saya pergi ke toko Cita Tenun Indonesia (CTI)yang berlokasi di Wijaya Grand Centre, Jl. Wijaya II No.47, Jakarta Selatan. Berkumpul bersama beberapa media dan terkagum-kagum akan cerita dan hasil nyata kain-kain tenun di sana. Sore itu kita berdiskusi mengenai bagaimana CTI memberdayakan para pengrajin di berbagai daerah Indonesia.
Mulai dari disinis-in, ditolak, hingga diremehkan, sudah dialami para pelatih CTI. Tapi semangat tidak terpatahkan, CTI meneguhkan misinya yang ingin mengembangkan tenun Indonesia.
“Kita kasih dulu PR kepada pengrajin tenun, hanya sekedar bikin semacam (tabel) runner. Motifnya kita buat yang lebih kekinian, yang dikembangkan. Mereka (para pengrajin) biasanya motifnya cuma pinggirannya (kain) saja. Tapi ini (diajarkan) supaya lebih penuh lagi,” cerita Dhanny Dahlan, pengurus CTI.
Dhanny juga menceritakan bagaimana proses CTI mengajarkan menenun kepada pengrajin yang dulunya terbatas, tapi kini dikembangkan sampai-sampai para pengrajin menangis kesusahan.
“Ibu-ibu datang membawa hasil PRnya, tapi masih belum berhasil. Para pengrajin masih takut-takut, masih skeptis. Ketiga kali datang masih begitu… Sudah berbentuk kain dua meter, tapi di sini motifnya bisa rapat, karena memang ada pemotifan baru kekinian, ke sininya (motifnya) jarang. Mereka (pengrajin tenun) nangis.. Kita juga nangis, para pelatihnya. Sama-sama frustasi,” lanjut Dhanny. Dengan sabar, pelatih CTI terus melatih hingga pertemuan ke empat, motif tekstil sudah punya komposisi yang baik.
Selain motif, CTI juga mengajarkan pewarnaan alam bersama Cut Kamaril. Tidak sembarang bahan alam yang diambil, perlu diperhatikan tumbuhan atau bahan alam apa yang tersedia di lingkungan sekitar. Misalnya saat di Dairi, Sumatera Utara, CTI mengajarkan para perajin mengolah daun indigo yang tumbuh subur daerah Sumatera Utara dan punya warna yang menyala. Para pengrajin diajarkan untuk memfermentasi daun ini menjadi pasta.
Setelah kain tenun jadi, CTI akan menggandeng desainer untuk menyulap kain-kain pengrajin menjadi baju dan interior. “Baru mereka ‘ohhh seperti ini!’ dari yang tadinya cuma ‘kok warnanya suram-suram’ tapi ternyata jadi juga warna-warna yellowish, pinkish, bluish juga,” ungkap Dhanny menceritakan kekaguman Dekranas dari sebuah daerah, saat fashion show Denny Wirawan menggunakan kain tenun karya pengrajin didikan CTI.
Keberhasilan CTI tidak berhenti di kekaguman saja, tapi saat mendengar kain-kain di daerah yang sudah tidak bisa dikirim lagi ke Jakarta untuk diproses komersial oleh desainer, karena sudah selalu sold out bahkan sebelum kain tenun jadi.
“Masih di papan penenun saja sudah dikasih DP (down payment) sama ibu-ibu. Jadi, itu satu success story pada waktu kita pelatihan di Sulawesi Tenggara. Sampai hari ini, agak sulit kita mendapatkan (kain tenun), karena ternyata pewarnaan alam ini tersosialisasikan dengan baik dan sangat digemari,” kata Dhanny dengan bangga.
Selamat Cita Tenun Indonesia! Semoga tenun Indonesia selalu terwarisi dari generasi ke generasi dan terlahirkan pengrajin tenun berbakat.