Leo Silitonga: Modal Sendiri Hingga Koleksi Ratusan Karya Seni

Sebelum masuk ke dalam industri media, saya agak ragu jika harus mengunjungi sebuah pameran seni. Tidak dapat dipungkiri bahwa pameran tersebut menyimpan karya-karya berharga dengan nilai yang tinggi. Bisa apa anak muda seperti saya? Belum lagi berbicara tentang konsep seni yang kadang terlalu rumit untuk dimengerti. Ujung-ujungnya hanya sekadar foto untuk memenuhi konten media sosial.

Namun, seiring berjalannya waktu, saya menjumpai begitu banyak seniman muda dengan karya seni yang terasa begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Entah mengapa, menyaksikannya saja bisa membuat saya merasa terhubung. Tak jarang, justru menjadi karya seni tersebut mampu mengungkapkan apa yang saya rasakan. Dikemas dengan konsep yang unik, pameran seni tak lagi menjadi hal yang asing. Berbincang dengan Leo Silitonga, Fair Director dari Art Moments Jakarta, pandangan saya semakin dibukakan dengan masa depan seni di Indonesia. Dari beliau juga saya mengetahui bahwa karya seni menjadi suatu hal yang dapat dimiliki oleh siapapun.

Dengan latar belakang pendidikan arsitek, bagaimana akhirnya Anda bisa menjadi seorang kolektor seni?
Saya lulus sarjana di jurusan arsitek dan memiliki pendidikan magister di business administration. Terus terang ketika saya kuliah arsitek, saya pun mengambil mata kuliah seni rupa. Arsitektur sendiri memang tidak jauh dari seni. Namun, semasa saya kuliah, saya belum punya uang untuk membeli lukisan. Kemudian, ketika saya mulai bekerja di perbankan, sektor keuangan, saya mulai mengkoleksi karya yang memang sudah punya nama saat itu.

Jadi, bisa dikatakan bahwa Anda memulai semuanya dari nol? Dalam pengertian bahwa Anda tidak memiliki latar belakang seperti keluarga yang menyukai seni dan sebagainya?
Tidak sama sekali. Saya memulai semuanya sendiri dan dengan uang sendiri.

Namun, seperti yang diketahui bahwa pameran seni terlihat sebagai sebuah ajang yang berkelas dan dihadiri oleh mereka yang memiliki modal besar. Bagaimana caranya untuk menimbulkan keinginan di hati generasi muda supaya turut menghadiri sebuah acara seni?
Sekarang-sekarang ini sebenarnya sudah banyak galeri yang menjangkau market milenial. Strateginya adalah dengan karya-karya yang berkualitas namun tetap dengan harga terjangkau. Contohnya seperti karya-karya di atas kertas atau karya-karya edisi atau prints. Pokoknya yang kisaran harganya di bawah Rp10.000.000. Mungkin ada yang bilang bahwa harga tersebut masih mahal. Ya, namun dibandingkan dengan kaos mereka yang harganya Rp5.000.000? Ya gak, sih? Dengan budget untuk membeli kaos hypebeast, mereka sebenarnya bisa membeli sebuah karya dan memulai jadi kolektor seni.

Untuk Art Moments sendiri apakah juga menargetkan generasi muda?
Dari jenis karya, kami akan banyak menampilkan galeri-galeri yang memamerkan karya dari urban artists, seperti grafitti dan manga. Misalkan, seperti D Gallerie akan menampilkan karya grafitti. Kemudian, ada kolaborasi antara Art:1 by Mon Decor Gallery dengan IFI, French Cultural Center itu akan menampilkan empat grafitti artists, dua dari Perancis dan dua dari Indonesia. Nah, terus kemudian nanti ada salah satu exhibitor, Philips Auctioneers akan menampilkan karya Kaws. Galeri PERROTIN akan menampilkan karya Mr. yang begitu dekat dengan Pharrell Williams dan pernah kolaborasi bersama dengan beberapa brand, seperti Adidas x Pharrell Williams x Mr.. Seperti itu akan menarik perthatian para millenials. Kemudian ada beberapa galeri yang menampilkan karya seni dengan harga yang terjangkau untuk mereka.

Untuk pembelian seni pertama Anda di tahun berapa dan dari seniman siapa?
Di tahun 2005, karya dari Dede Eri Supria. Karya realis yang cukup populer di tahun 90-an. Dia banyak menampilkan gambaran permasalahan di ibu kota, seperti penyapu jalan atau pembersih kaca. Awalnya tujuan saya pun untuk menolong orang. Jadi, ada orang yang butuh uang dan menjual koleksinya. Saya beli, kemudian sejak itu dari satu sekarang sudah ratusan. 

Apakah Anda membeli seni untuk disimpan atau ikut memperjualbelikannya?
Karena saya pernah bekerja di bank, di bagian capital market, saya juga tidak bisa bohong bahwa saya melihat koleksi saya sebagai investment portfolio. Saya juga melihat perkembangan harganya dan sebagainya. Kalau misalnya ada karya lukisan yang saya lihat mengalami kenaikan harga tidak masuk akal, biasanya saya coba lepas. 

Bagaimana awal mula dari Art Moments?
Dari tahun 2014, semenjak saya sudah tidak bekerja lagi di capital market, saya menjadi direktur dari Bazaar Art Jakarta. Kemudian, 2016 hingga 2017, saya menjadi direktur dari Art Stage Jakarta. Saya berhenti di September 2017. Di tahun 2018, saya merencanakan untuk membuat Art Moments Malaysia sebenarnya. Sudah set up tempat di KLCC dan sebagainya. Namun, karena satu dan lain hal, kita harus menunda acara tersebut. Lalu, di Jakarta saya sempat bertemu dengan beberapa kolektor lalu muncul ide untuk membuat art fair baru. Pemikiran saya waktu itu adalah kan sudah ada Art Jakarta dan Art Stage Jakarta. Ternyata mereka bilang bahwa Art Stage Jakarta tidak akan lanjut lagi dan memang terbukti ketika Art Stage Singapore tutup. To make the story short, saya pun menawarkan ide ini ke Pakuwon dan pendukung dari Art Stage Jakarta sebelumnya dan mereka mau mendukung, maka kami adakan lah Art Moments. Kenapa dI Bulan Mei? Karena kami ingin membuat suasana yang kondusif untuk pasar pecinta seni di Jakarta, di Indonesia. Dari yang biasanya cuma ada jarak dua minggu dari satu pameran seni dan yang lainnya, kemudian saya berusaha untuk memberi jarak lebih. Karena di pasar seni rupa sendiri, galeri memiliki penjualan tertinggi di art fair dibandingkan dengan pameran-pameran reguler mereka.

Apa yang membedakan Art Moments dengan pameran yang lain?
Jadi, pertama dari lokasinya sendiri. Bertempat di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel yang memang satu komplek dengan shopping mall-nya. Lokasi ini merupakan satu-satunya commercial building yang penuh dengan karya seni penting. Seperti di Gandaria City Mall ada banyak sculpture yang setingkat dengan museum. Di hotelnya sendiri pun ada banyak karya dari seniman kontemporer papan atas Indonesia yang ditampilkan untuk publik. Jadi, tempat ini menjadi tempat yang tepat untuk mengadakan pameran seni. Kedua, yang membedakan adalah lebih ke familiarity. Kami tidak ingin membuat art fair yang terlalu besar karena kami ingin art fair ini menjadi tempat dimana galeri-galeri atau exhibitor yang berpartisipasi dapat menjadi lebih intim dengan para pengunjung. Kami lebih ingin membuat suasana seperti butik, jadi bukan yang department store gitu. Jadi, lebih ke intimate experience

Leo Silitonga, fair director of Art Moments Jakarta (Foto: Dok. Art Moments Jakarta)

Untuk seniman yang menjadi highlight di tahun ini?
Ada cukup banyak sebenarnya. Akan ada Mr. solo show, seniman Jepang yang tadi saya katakan berkolaborasi dengan Pharrell Williams. Kemudian, ada Kongo, seniman Prancis yang pernah berkolaborasi dengan Hermes untuk scarfnya, Richard Mille, dan dengan Karl Lagerferd di masa-masa terakhir hidupnya. Saat itu ada fashion show besar di Metropolitan Museum, New York, yang menampilkan koleksi kolaborasi antara Chanel dengan Kongo. Kemudian, akan ada juga show Gregorius Sidharta oleh Lawangwangi Creative Space, Bandung yang akan dibentuk seperti pameran di museum. Ada juga special presentation dari Heri Dono, jadi pengunjung masuk akan disambut dengan instalasi dari Heri Dono dan juga akan ada beberapa lukisan. Dan, masih banyak lagi.

Karya seni yang paling menarik bagi Anda secara pribadi?
Saya itu sangat menyukai karya seni dari seniman yang kira-kira punya potensi untuk dikoleksi sama museum atau diundang oleh biennale, yaitu pameran karya seni penting. Maksudnya, karya yang memiliki CV yang kuat. Jadi, saya tidak mematok apakah harus lukisan atau apa, lebih tertarik dengan seniman yang memiliki konsep cukup kuat.

Apakah Anda juga akan turut memamerkan koleksi Anda?
Tidak, koleksi saya memang untuk konsumsi pribadi. Di sini, kita mengundang galeri-galeri di Indonesia dan mancanegara untuk memamerkan seniman-seniman yang representasikan. Art fair memang bersifat komersil, jadi mereka akan menjual karya tersebut.

Siapa saja yang berpartisipasi dalam memamerkan karya seni di Art Moments? Saya pribadi memiliki seorang teman yang turut berpartisipasi dalam Art Moments, namun tidak memiliki galeri.
Art fair tidak hanya dibatasi untuk galeri saja. Art fair sekarang adalah solusi untuk galeri atau dealer yang ingin mempromosikan karyanya. Semenjak rental fee untuk galeri semakin menaik dan marketnya pun tidak sebagus 10 tahun yang lalu, jadi banyak galeri yang dulunya punya banyak cabang di tiga sampai empat kota jadi hanya tersisa satu. Art fair adalah jawaban untuk permasalahan ini. Jadi, lebih baik bekerja selama tiga hari sampai satu minggu untuk sebuah art fair. Dari pihak art fair tersebut yang akan berusaha untuk mengundang para kolektor. Hal ini jauh lebih efektif dan efisien daripada harus menjaga galeri sepanjang tahun. Jadi, ini bisa menjadi test market. Kalau pameran di galeri yang datang mungkin hanya 100-200 orang, tapi kalau di art fair bisa ribuan orang.

Sebagai seseorang yang memang tertarik di bidang sosial, saya cukup sering tersentuh melihat bagaimana banyak seniman yang terbengkalai. Sebagai seorang kolektor seni dan pernah melihat begitu banyak karya besar, bagaimana Anda melihat karya seni di Indonesia?
Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa dibuat art fair ini. Saya pribadi melihat banyak seniman-seniman Indonesia yang berpotensi yang perlu dipromosi. Jumlah galeri sendiri sebenarnya sangat terbatas dan tidak mungkin untuk mempromosikan semua seniman di Indonesia. Makanya sekarang banyak sekali collective artists yang mengumpulkan beberapa seniman dan approach galeri untuk membuat pameran atau langsung membuat pameran sendiri. Dari sisi saya sendiri, saya tentu melihat jumlah seniman di Indonesia yang begitu banyak. Mereka harus berjuang karena memang istilah starving artist itu ada, banyak seniman yang kelaparan. Mereka harus terus menerus secara konsisten bereksplorasi dan menciptakan karya yang baru. Misalkan, basic-nya seni lukis realis, mereka harus terus menggali supaya bisa menampilkan yang terbaik. Paling mudah sebenarnya mengukur sebuah karya seni bagus atau tidak itu dari seni teknik. Tidak perlu membicarakan tentang konsep dulu, kalau tekniknya bagus pasti ada value lebih. Tapi, kalau tidak ada teknis, akan dinilai dari konsep mereka yang menarik, inovatif, berbeda dari yang lain. Caranya mencarinya juga lebih subjektif lagi nantinya. Seniman juga harus lebih proaktif untuk berbicara dengan para kurator atau kritikus seni, apa yang harus diperbaiki atau ditingkatkan dari karya mereka. Jangan sampai terjebak dengan membuat karya yang meniru seniman lainnya. Kepepet, butuh uang, jadi asal buat karya yang mudah dijual. 

Dari Anda sendiri, apa harapan Anda untuk masa depan seni di Indonesia?
Seni rupa di Indonesia sekarang sedang dalam spotlight. Pertama, di tahun depan akan ada seniman Indonesia yang diundang oleh kurator Venice Bienalle. Memang banyak seniman Indonesia yang pernah berpartisipasi dalam Venice Bienalle, tapi itu biasanya di Indonesian pavilion. Kalau di Indonesian pavilion, ya terserah kurator Indonesia juga. Tidak sebergengsi dengan diundang langsung oleh kurator Venice Bienalle. Venice Bienalle sendiri adalah pameran seni rupa yang diadakan dua tahun sekali di Venice, ada Giardini dan Arsenale, dan banyak sekali negara-negara yang membuat paviliun di sekitarnya. Paviliun itu berbentuk gedung berisikan seniman yang dikurasi oleh kurator paviliun tersebut. Sementara ada main hall yang isinya dikurasi oleh seniman yang ditunjuk oleh Venice Biennale.

 

"Tahun ini, akan ada seniman Indonesia yang diundang langsung oleh kurator Venice Biennale, yaitu Handiwirman. Kemudian, ditunjuk Ruangrupa sebagai artistic curator dari Documenta. Wah, ini catatan sejarah bagi seni rupa di Indonesia. Sayangnya, Indonesia tidak melihat bahwa pengumuman ini merupakan sebuah catatan sejarah..." 

 

Documenta adalah pameran setiap lima tahun sekali di Kassel, Jerman. Itu seperti trendsetter-nya art di dunia, lah. Dan, yang ditunjuk sebagai artistic director adalah Ruangrupa, yaitu collective artists dimana mereka sendiri sebagai seniman, sebagai kurator sudah diundang oleh acara seni penting di seluruh dunia diketuai oleh Ade Darmawan. Itu tuh, gila-gilaan banget. Jadi, artistic director ini akan memilih kurator, kurator yang akan memilih seniman. Belum ada seniman Indonesia yang diundang ke Documenta. Nah, sekarang yang terpilih sebagai artistic directornya adalah orang Indonesia. Wah, keren banget. Sebelumnya memang pernah ada beberapa orang Asia yang ditunjuk sebagai artistic director. Tapi, itu misalnya seperti orang India yang sudah tinggal lama di London, jadi seleranya masih terinfluensi oleh European art. Pokoknya orang Asia yang memang sudah berdomisili di negara barat. Karena kan bagi Eropa, seni rupa barat yang paling bagus, dong. Nah, ini adalah collective artist dari Indonesia yang tinggal di Indonesia dipilih sebagai artistic director. Ini membuat orang bertanya-tanya. Mau kemana nih seni rupa dunia dengan terpilihnya artistic director yang berasal dari Indonesia? Ini bisa ada pergeseran trendsetter, dari yang European sentris akan menjadi lebih ke Asia, Indonesia pula. Kalau dari Tiongkok, sudah biasa mungkin. 

Untuk Anda sendiri, bagaimana harapan Anda untuk Art Moments?
Kami berharap ini bisa menjadi annual event. Kemudian, kita juga akan expand, mungkin jadi Art Moments Bali atau Art Moments Malaysia yang memang kita sempat tunda. Mungkin Art Moments di negara lain. Semoga bisa terealisasikan.

Art Moments Jakarta diadakan pada tanggal 3 hingga 5 Mei 2019, di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel. Kunjungi www.artmomentsjakarta.com untuk informasi lebih lanjut.