Happy Thanksgiving

Apakah masayarakat di Indonesia kurang berterima kasih? Sehingga tidak ada hari Thanksgiving?

Common Sense

Sewaktu kecil saya seringkali mendengar kalimat “Happy Thanksgiving!” dari banyak serial Amerika yang ditayangkan di televisi. Maklum pada saat itu saya sebagai seorang anak kecil hanya menghabiskan waktu sehari-hari di depan TV untuk menyaksikan kartun atau apapun. Tanpa mengerti apa arti Thanksgiving itu sebenarnya. Dan berkali-kali saya bertanya kepada Ibu saya, Thanksgiving Day itu apa maksudnya. Berkali-kali pun saya meminta kepada Ibu saya untuk membeli kalkun dan merayakan Thanksgiving dirumah, dan Ibu saya pun hanya mengatakan kita di Indonesia tidak merayakannya.

Photo: Monstera Production - Pexels.com

 

Sebagai anak kecil yang cukup kritis, saya pun bertanya “kenapa kita tidak merayakan hari terima kasih?” toh terima kasih kan maknanya baik. Lantas Ibu saya pun berkata, di Indonesia tidak menjual kalkun. 

 

Merasa kurang puas dengan jawaban tersebut, saya pun bilang kepada Ibu saya “Ma, kalkun-nya diganti ayam jago saja, kan sama-sama Ayam”. Ibu saya pun hanya diam mengabaikan permintaan saya yang dianggap halu.

 

Maka kehaluan itu pun saya bawa hingga saya beranjak dewasa. Bahwa merayakan Thanksgiving itu sangat menyenangkan, kalau di film-film merayakan Thanksgiving itu sambil ditemani perapian yang menghangatkan seisi ruangan, lalu diluar jendela tampak semilir salju yang turun yang kian membukit di halaman. Suasana syahdu tersebut pun semakin menghangatkan hati dengan alunan musik jazz yang diputar menemani makan malam bersama keluarga. Betapa Indahnya bukan!

 

Tak berhenti disitu saja, ketika kecil saking terobsesinya saya dengan momentum tersebut, kerap kali saya pun mengeluh, kenapa di Jakarta tidak ada salju, kenapa kita tidak memiliki perapian di ruang keluarga, kenapa tidak ada kalkun, kenapa dan kenapa? Yah namanya juga anak kecil, apa yang ada di dalam film dikira itu adalah kenyataan.

Photo: Monstera Production - Pexels.com

 

Ketika saya mulai bekerja, bertemu dengan teman-teman yang mayoritas lulusan Amerika barulah saya menyadari bahwa khayalan tersebut bukan milik saya pribadi. Ternyata teman-teman saya pun memiliki imajinasi yang sama dengan saya. Maka kami pun setiap tahun tak pernah absen untuk mengadakan Thanksgiving versi kami pribadi, yang mana sebenarnya adalah momentum untuk berkumpul dan makan kalkun bersama.

 

Aktivitas unik ini pun tentu diadakan lengkap persis seperti yang masyarakat Amerika lakukan. Mulai dari hidangan hingga musik pengiring yang diputar selama makan malam berlangsung. Santap malam ‘berterima kasih’ ini pun diawali dibuka dengan ungkapan terima kasih dari masing-masing untuk apa yang diraih di tahun ini. Kendati berpura-pura menjadi orang asing ini hanya berlaku untuk satu malam, namun nyatanya lima menit setelah makan kalkun kami pun langsung memesan nasi uduk melalui aplikasi pesan antar makanan. “Emang boleh se-Ameriki itu???”