Di belahan dunia lain bulan ke-empat dalam setiap tahun, selalu menjadi bulan yang ditunggu. Apalagi bagi negara yang mempunyai empat musim. Pasalnya bulan ini menjadi penanda bahwa musim panas yang ditunggu akan segera datang, setelah setengah tahun menghadapi cuaca musim dingin yang tak karuan. Sementara di belahan negara lainnya bulan keempat ini menjadi bulan penanda masuknya musim kemarau. Jika diperhatikan lebih seksama, memang sangat terlihat kontras. Namun itulah kehidupan, disatu sisi adalah suatu keberuntungan, sementara disisi lain adalah ketidaksenangan. Dan keduanya memiliki dua POV yang berbeda.
Rupanya kedua POV ini sama halnya ketika suatu waktu saya terlibat pembahasan dengan seorang teman, mengenai alur pembicaraan ketika dalam suatu percakapan dalam WhatsApp dengan Gen-Z. Sebagai generasi milenial, saya dan beberapa teman saya selalu menjaga etika bahasa ketika dalam percakapan melalui WhatsApp. Baik dari tata bahasa, cara merespon suatu percakapan, hingga kecepatan dalam membalas suatu pesan. Bahkan disisi lain, kami pun terkadang sangat memikirkan perasaan sang lawan bicara ketika dalam suatu obrolan.
Sementara dari pengalaman saya dan beberapa teman saya, generasi Z saat ini sangat berbeda sekali POV mereka dalam berkomunikasi. Misalnya, suatu pembicaraan yang umumnya diakhiri dengan terima kasih sebagai closure dari percakapan, sering kali tidak terdapat dalam pembicaraan tersebut. Begitu pula dengan kecepatan dalam membalas suatu pesan, sering kali Gen-Z tidak membalas. Atau jika dibalas pun setelah dua hari kemudian. Dan banyak sekali etika percakapan yang sudah tidak diaplikasikan oleh mereka.
Sampai saya dan teman-teman sebaya saya pun, memiliki kesimpulan bahwa jika dalam percakapan dengan Gen-Z untuk apa harus memikirkan etika obrolan yang seharusnya. Toh, mereka saja pun tak peduli dengan lawan bicara. Singkat kata, untuk apa gesture santun seperti ucapan terima kasih digunakan sebagai closure? Lalu untuk apa kesigapan responsif diutamakan, sementara nyatanya nilai tersebut sudah semakin terkikis.
Mungkin dari point of view generasi milenial, runutan dan gaya bicara dalam percakapan WhatsApp sangatlah mencerminkan karakter dan pencitraan seseorang tersebut. Melainkan bagi Gen-Z yang dibesarkan dalam dunia digital apa yang mereka tuliskan dalam suatu pesan hanyalah teks yang tanpa makna. Maka untuk apa dipikirkan secara mendetail.
Lantas siapa yang harus mengubah diri? Generasi Z atau generasi milenial? Jika menurut saya pribadi mungkin generasi milenial harus lebih versatile, menggunakan cara komunikasi mereka ketika berhadapan dengan mereka. Agar kenapa? Agar tidak naik darah dan baper dikemudian hari.
Photo : Pixabay - Pexels.com