Menikmati Hoshinoya Bali, Perpaduan Dua Budaya

Haute Culture

Setelah nyaris tiga tahun saya tidak naik pesawat, akhirnya saya putuskan untuk terbang ke Bali. Vaksinasi yang lengkap, ditambah pernah terpapar Covid – 19 seri Omicron membuat saya lebih percaya diri untuk mengambil sedikit liburan yang hassleless. Namun acara jalan-jalan pertama setelah sekian lama ini membuat saya jadi agak sedikit ribet dalam memilih hotel. Pingin suasana pantai, tapi juga pingin gunung. Pingin yang banyak terkena banyak sinar matahari, namun juga ingin yang dapat merasakan hembusan angin sejuk.

Akhirnya, setelah bolak balik, buka tutup website dan liat-liat Instagram juga TikTok, saya memutuskan untuk mencoba Hoshinoya Hotel Ubud. 

Pertama karena saya memang belum pernah bermalam disitu. Kedua dari foto-fotonya terlihat adem dan menarik. Last but not least ada sesuatu kekepoan dalam hati ingin menguji kebenaran bagaimana sebuah brand internasional membaur dengan sebuah kearifan lokal.

Jarak yang lumayan jauh adalah kesan pertama saya tentang Hoshinoya, dan keberadaan google map juga sangat berarti. Berlokasi di Ubud, tepatnya di Banjar Pengembungan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali.  Namun sambutan ramah tuan rumah berikut welcome drink dan handuk dingin terasa mengurangi jarak yang harus kami lalui. Setelah beres dengan urusan check in, kami diajak untuk ke kamar, dengan berjalan kaki. Terus terang saya sempat agak cemas, untungnya, ternyata kecemasan saya menjadi tidak beralasan. Kamar kami sama sekali tidak jauh, dan jalan kaki menuju kesana juga terasa menyenangan. Seperti berjalan-jalan di tepi hutan, turun naik melewati banyak pohon asri dan suara gemercik air. Yang membedakan hanyalah jalan kecil yang kami lalui terdiri dari bilah-bilah papan yang tersusun rapi sehingga memudahkan kita berjalan, termasuk jika harus turun naik. Lahan yang ber-contour ini sengaja dipertahankan karena memang pada dasarnya keseluruhan properti ini  mengikuti alam yang ada. Termasuk mengalah pada Subak yang tersebar di seluruh properti. Sehingga kita kita bisa menemukan subak-subak kecil saat kita berjalan-jalan.

Paduan antara budaya seni Bali yang kaya dan beragam dengan alam yang luar biasa, dapat dirasakan dengan gemercik air sungai Pakerisan yang dapat didengar dari segala penjuru resor. 

Dan ketika saya masuk ke halaman vila yang akan saya tempati tiga hari ke depan, semua jarak yang saya lalui mendadak punah begitu saja. Selain vila yang terdiri dari area living room, area tidur, dan area kamar mandi, ada juga gazebo yang menghadap ke kolam renang semi private. Sentuhan budaya Bali terasa dalam betuk fisik bangunannya, namun budaya Jepang terasa dalam penataan detail interiornya.  Saya langsung merasa betah dan nyaman. 

Keesokan harinya Hoshinoya membuat saya terpukau dengan pemandangan matahari terbit, meski ada kabut putih yang terlihat indah mengelilingi area resor, ditambah kicauan burung-burung. Awal pagi hari yang membuat saya yakin untuk tidak pergi kemana-mana dan ingin bersantai di vila. 

Semua properti Hoshinoya di dunia dirancang khusus oleh seorang arsitek perempuan asal Jepang bernama Rie Azuma. Tentunya termasuk yang saya kunjungi di Bali. Sebelum merancang arsitekturnya, Azuma melakukan penelitian mengenai budaya Bali, dengan mengunjungi candi Hindu dan rumah tradisonal Bali, termasuk mempelajari batu-batuan, kayu, metal, dan workshop batik Indonesia. Sampai pada akhirnya, Azuma berhasil membuat resor dengan budaya Jepang dan Bali yang seimbang. Saya menganggap suatu keberuntungan bagi saya untuk dapat menikmatinya.

Tempat yang nyaman, pelayanan yang apik, makanan yang enak, dan aktivitas yang seru pastinya bukan hanya membuat betah, tapi juga membuat saya ingin kembali lagi.