Sama dengan Hidup, Seni Merupakan Proses Perjalanan Mencari Jati Diri

Pameran seni dengan karya dari Ruth Marbun atau yang akrab disapa Utay dapat Anda temukan di galeri Artsphere selama Art Jakarta berlangsung di JCC Senayan, tanggal 30 Agustus hingga 1 September 2019.

Jujur, saya tidak tahu banyak mengenai dunia seni, apalagi seni rupa dan seni lukis. Saya tidak tahu siapa seniman yang sedang dielu-elukan atau tren seni apa yang sedang berkembang saat ini. Namun, ketika berbicara tentang seni, saya lebih suka melihat jauh ke dalam. Melihat ke dalam proses, mengetahui alasan di balik terlahirnya seni ini, mengetahui apa yang terjadi selama proses perwujudannya, atau bahkan mengetahui lebih banyak tentang siapa sosok pelukis ini. Ya, bukan sekadar hasil akhir yang cenderung subjektif nilainya. Namanya juga perempuan, menilai dari apa yang ia dengar baru kemudian masuk ke dalam hati, bukan hanya dari apa yang kasat mata.

Sama halnya ketika mendengar seorang seniman perempuan pemilik nama asli Ruth Marbun. Melihat karyanya, warna merah dengan guratan yang tampak keras seketika menarik perhatian saya. Ya, sebatas tertarik. Namun, ketika mendengar kisahnya, saya pun jatuh cinta. Saya kira hanya sekadar doodle tanpa makna, namun nyatanya penuh rasa dan asa. Siapa yang dapat menyangka bahwa Utay bahkan tidak pernah mengemban ilmu khusus di bidang seni sebelumnya. Perjalanan Utay hingga hari ini menjadi sebuah pengingat bahwa passion merupakan hasil dari sebuah pencarian dan dibangun dengan penuh keinginan. Tentunya, melalui sebuah proses berkelanjutan. 

Ruth Marbun (Foto: Dok. Ruth Marbun)

Hi Utay, dulu Anda pernah studi di luar negeri, apakah khusus untuk menempuh studi arts?
Waktu itu tinggal di luar memang untuk studi. Namun, bukan spesifik di arts tapi fashion design. Terus, ada setahun pertama di London kemudian lanjut di Singapura. Aku sekolah fashion, aku langsung kerja juga setelahnya, doing all the fashion things yang aku sebenarnya sudah impikan dari umur 10 tahun. Kemudian, aku back for good ke Jakarta. Nah, di situ baru sedikit berbelok. Jadi, justru secara background aku sebenarnya fashion.

Apakah Anda sejak kecil sudah familiar dengan seni?
Sebenarnya memang senang menggambar. Masuk ke jurusan fashion pun karena memang senang menggambar. Tepatnya menggambar baju yang tidak dibelikan oleh ibu dan bapakku. Kan waktu itu brand yang keren pada zamannya adalah Guess dan Contempo, at that time orang tuaku belum mampu membelikan. Jadi, aku pengen deh baju kayak teman-teman gitu kan, ya sudah jadi gambar-gambar aja. Nah, dari gambar itu biasalah orang tua kayak, "oh, kamu gambar baju, wah fashion." gitu kan. Terus, aku juga kayak langsung, oh iya aku suka. Jadi, dari umur 10 aku tau kalau I want to do fashion. Mungkin, terlalu fokus ke fashion jadi at some point aku tidak eksplorasi kemungkinan lain. Pas balik ke Jakarta, ada perubahan kan, istilahnya mulai dari nol karena aku gak pernah ada pengalaman di dunia profesional di sini. Pas balik, restarting from zero again. Dari situ aku agak kayak mulai eksplorasi ke kiri dan ke kanan sampai akhirnya bisa ke seni rupa.

Bagaimana awalnya ketika Anda di Jakarta dan mulai ke seni rupa?
Sebenarnya sih aku gak ada niatan dari dulu. Bahkan, meskipun aku ada di bidang design, entah kenapa gak pernah kepikiran bahwa menjadi seniman adalah sebuah opsi. Padahal, inisiatornya justru dari menggambar. Mungkin juga karena kurang pengetahuan, pada waktu itu belum ada internet seperti saat ini. Di tahun 2000-an awal kan penggunaan internet masih shifting dari warnet, kemudian ke telepon rumah, lalu abis itu wi-fi, but not in our hands. Jadi, penyaluran informasi juga berbeda di awal aku memulai karier. Pas balik, yang aku tau saat itu adalah aku bisa menggambar. Aku gak mau ke fashion waktu itu karena mau take a break, biasanya aku selalu intense dalam mengerjakan sesuatu. Lalu, aku juga merasa kurang cocok dengan fashion scene di sini karena aku sangat menikmati proses pembuatan, tapi sejujurnya secara lifestyle aku gak masuk. Sebenarnya itu semi-sotoy sih, karena who I am to judge, aku gak pernah ada experience. Walaupun, kalau aku cerita sama orang ya gak ada yang menyalahkan statement tersebut.

Jadi, ya sudah, awalnya aku ada interest di ilustrasi. Karena di sini aku gak punya teman, ya aku harus mencari teman dan komunitas. Jadi, mulai ikut either komunitas atau open submission apa di Twitter, ya shamelessly aja ikutan. Arahnya juga bukan ke seni, tapi lebih mau ke mencari teman. Awalnya aku baca buku aja, beli di Amazon, dengerin podcast. Basically aku cuman punya dua teman kali di Indonesia yang ada di dalam bidang seni, gak kenal siapa-siapa lagi. Dulu, kan kayak ada Kopi Keliling yang open submission, aku ikut aja. Kadang-kadang nyamperin orang, temannya teman, kenalan aja gitu, tujuannya untuk mencari komunitas. Kemudian, baru dari sana perlahan-lahan mencari. Ilustrasi pun aku juga merasa kurang cocok karena ilustrasi sendiri kan seharusnya merepresentasikan sebuah teks atau sebuah ide, walaupun tidak literally menggambarkan, tapi setidaknya mewakilkan idenya. Nah, punyaku menurutku tidak bisa mewakilkan secara general gitu, mungkin itu mewakilkan pikiran aku, but that's not how illustration functions.

Awalnya kayak merasa tidak cukup kompeten untuk ini, makin ke sini baru tau oh arahnya beda, gesture-nya beda, referensinya beda, ternyata aku memang not in the right point saja di saat itu. Paling penting di dalam prosesnya adalah berkenalan itu tadi, ngobrol, tau, terus ikut pameran untuk ngelatih mentalnya, berani mengirim karya, mepresentasikan karya, menjelaskan gitu.

Berarti sungguh sebuah proses pencarian ya ini jalannya?
Iya, kecemplung.

Discourage Fear at Dialogue (Foto: Dok. Ruth Marbun)

Sebenarnya bagaimana Anda menggambarkan karya Anda?
Kalau karya mungkin aku fokusnya ke visual, so far mainnya masih ke visual tapi aku juga eksplorasi banyak hal. Kalau disuruh menggambarkan, mungkin yang paling teknis adalah aku banyak membuat karya-karya figuratif, banyak unsur makhluk atau manusianya, makin ke sini sih makin deconstructed dan makin genderless. Kalau aku membuat figur itu aku gak pernah design dari awal, jadi mereka come out during the process, lebih ditemukan daripada dibuat. Pendekatannya agak ekspresif dan emosional.

Aku tuh paling bingung kalau harus menceritakan apakah karya ini merepresentasikan kemarahan atau ini tentang situasi apa, karena itu memang a process thought. Kalau aku melakukan sebuah research atau sedang mencari referensi, aku absorb dulu. Kalau istilahnya makanan, aku makan dulu, aku kunyah, aku telan, kemudian jadi poop, nah ini karya gue. Jadi dari banyak hal, aku gak bisa pinpoint yang mana, jadi proses banget. Sudah diolah dan menjadi karya. Menurut aku, aku sendiri a late starter dan tidak datang dari akademi khusus pembelajarannya, jadi aku masih melebarkan aja yang aku mau lakukan. Cuman mungkin fokusnya sekarang aku mencari sebuah narasi yang datang dari aku, eksplorasi medium juga.

Dalam proses pembuatan satu karya, Anda tidak memiliki bayangan akhirnya? Namun, bagaimana Anda memulainya?
Kalau sekarang lumayan based on project, dari satu ke yang lain. Tapi, aku memang by doing, lebih impulsif dan spontan in terms of gesture-nya, jadi mainnya lebih ke kuantitas, bikin banyak. Aku gak pernah tau hasil akhirnya, yang dikejar awalnya juga gak tau. Tapi, makin lama makin ketemu, mulai salah lalu memperbaiki. Jadi, by doing saja tapi tetap gak sembarangan, harus banyak baca juga. Most likely sih ketika mulai itu jelek, itu pasti crap. Tapi, sekarang aku sudah bisa berdamai dengan hal itu dan justru menganggap seperti the first step is done, udah ketemu jeleknya. Next, harus merespon kejelekan itu, either diperbaiki atau diulang dari nol, start all new atau ditiban saja. Tapi, prosesku ya begitu banget.

Kalau dulu sih stress ya, apalagi melihat orang jalannya linear, dari sketsa lalu mulai dibangun, kok aku gak bisa. Semakin direncanakan, karyaku justru semakin tidak jadi. Kalau sekarang, kadang-kadang memang direncanakan tapi sudah tau bahwa hasil akhirnya tidak akan sama. Tapi, ya sudah biar ada starting point, ada masanya kadang mumet atau limited time jadi kayak mau gak mau tetap harus dikerjakan. Setidaknya sudah didesain sedikit, kalau sudah ketemu mediumnya atau ketemu finishing-nya itu yang suka bikin berubah sih.

Biasanya dari mana mendapatkan inspirasi untuk membuat sebuah karya?
Seperti semua seniman, sifatnya personal. Tapi, inspirasi itu a bit tricky, itu seperti belanjaan sekeranjang yang masuknya sedikit demi sedikit. Jadi, kalau dibilang cari inspirasi di mana itu aku gak bisa pinpoint. Tapi, keseharian tuh lebih aware aja. Advantage orang yang berkecimpung di dunia seni adalah mereka memiliki awareness yang lebih tinggi  karena itu menjadi bensin. Kalau gak punya awareness, mau ngomongin apa, mau ngomongin sosial juga kalau sebatas baca koran, gak memikirkan secara lebih juga gak akan jadi apa-apa. Jadi, inspirasinya ya try to be aware aja, gak harus kritis pada semua hal, choose your battle aja, kalau gak nanti jadi a grumpy artist.

Bagaimana Anda memandang pekerjaan seorang seniman, khususnya di Indonesia?
Mumet, hahaha. It is a tough area karena infrastrukturnya belum ada, secara dari negaranya. Untuk museum seni rupa aja kita belum ada yang ngomongin tentang seni rupa, seperti perjalanan seni atau sejarahnya di Indonesia secara spesifik. Ada museum yang kontemporer, tapi yang dari negara gak ada. Jadi, apalagi ke dalam sisi ekonominya, sisi organisasinya itu ya rimba yang diperjuangkan oleh masing-masing pihak, tidak pernah ada yang memayungi. Di sebuah negara, mungkin memang merasa tidak ada yang dipayungi karena selalu ada saja yang bisa diprotes. Di sini, lebih ketinggalan lagi, tapi itu juga jadi karakter tersendiri, karena dengan hal-hal yang tidak ada itu ya para seniman terbiasa untuk fighting for their own jadi selalu bisa mencari celah untuk survive. Di antara senimannya juga jadi bekerja sama at some parts karena kalau sendiri mau sampai kapan, jadi lebih solid.

Tough, tapi ya Indonesia dengan pemikirannya, banyaknya masyarakat, ruang lingkupnya banyak, jadi potensinya juga lebih banyak secara kuantitas. Jadi, benar-benar tentang finding your own way. At this point, aku denger dari teman-teman seniman, ketika Eropa sedang kesulitan dengan pendanaan dan panik karena biasanya hidup dari funding, akhirnya mereka baru mencari cara-cara alternatif sedangkan kayak seniman di Indonesia ya sudah terbiasa. Menurutku, sulit tapi perlu diambil the best worst parts of it. At some points, it would be an advantage juga.

Sebagai seorang seniman, bagaimana Anda memandang karya seni itu sendiri?

Aku percaya bahwa seni harus menjadi bagian dari kehidupan. Jika hanya sebagai pekerjaan, pendek ya nafasnya. Jadi, itu kenapa aku masih mengerjakan apapun yang aku senangi secara pribadi dan aku sepaham ya aku kerjain. Karena bukan hanya perkara di tembok putih, bukan perkara di dalam bentuk kolektif. Sesederhana seperti jika seseorang suka membeli misalnya tempat makan yang menyenangkan, itu menjadi sebuah bentuk apresiasi, bisa menjadikan suatu hari yang lebih baik. Karya seni itu adalah bagian sehari-hari.

Misalkan, capek mengerjakan sebuah lukisan, justru malah iseng menggambar lagi. Itu yang aku rasain perbedaannya ketika di fashion dan di sini, ya sebenarnya di sini juga eneg, capek, dan depresi, tapi at some points you just continue doing it. Kalau di fashion, aku merasa senang, masih senang sih sampai saat ini, cuman mungkin tidak pernah menemukan lingkup yang cocok dengan yang aku inginkan. Aku jadi merasa sangat perhitungan, jadi kayak ingin kabur kalau capek. Kalau di sini, ya ngumpet-ngumpet tapi ya you go on aja.

Apakah ada satu karya yang membekas?
Mungkin kalau terbaru itu yang di Australia, ada Project 11 inisiatornya, ada sekitar enam atau delapan seniman muda di Indonesia yang memamerkan karyanya di sana, di Melbourne. Aku juga gak nyangka akan masuk karena ketika mengirimkan juga masih bingung, karyaku juga beratnya di proses, jadi sulit di proposalnya karena gak tau cara menceritakan hasil akhirnya, belum tentu gitu soalnya. Jadi, aku kasih konsep, proposal, bukan sketsa juga lebih mirip scrabble kayak ada tiga orang, lalu ada ini dan itu, eh tiba-tiba masuk. Lalu, ya hasilnya tetap jauh tapi aku jadi push myself untuk eksplorasi. Gak cuman membuat untuk menghasilkan, maknanya juga tidak ditentukan tapi diperoleh dari proses. Aku banyak menggunakan warna merah dari karya itu. Dulu aku tidak suka karena too harsh. Di karya itu, warna merah menjadi penting karena karyanya harus menjadi simbol two side of coins, jadi aku pilih merah yang represents darah. Di satu sisi, males kalau ngomongin darah, kayak dari luka, kecelakaan, atau menstrual, tapi di sisi lain itu juga sumber kehidupan dan precious. Jadi, itu menjadi penting.

Karena aku belum selesai membicarakannya dan masih cocok dengan apa yang aku ajukan, jadi aku continue with the palette. Aku juga pakai tekstil lagi di karya ini. Dulu aku kayak membeda-bedakan fashion dan seni, tapi sekarang aku masukin fashion ke dalam seni. Karena itu adalah hal yang aku paling familiar, jadi aku gabungkan. Aku buat embroidery, jelujur, soalnya aku mau ngomongin keterbatasan, kayak bisa gak sih ini dianggap sesuatu. Kalau aku main di kuantitas atau intensitas, ini tetap menjadi sesuatu kan? Sedangkan bordir itu identik dengan hal yang cantik. Jadi, itu menggambarkan bagaimana perempuan selalu dituntut dengan sebuah ide dan gambaran tertentu, dan ketika kita tidak seperti itu pun sebenarnya kita function equally, hanya beda cara saja. Karena sejauh itu, aku gak punya extreme experience tentang perempuan, isunya memang banyak tapi aku gak tau benar-benar, takutnya malah backfiring me and other women. Di saat ini, memang perempuan mendapat lebih banyak platforms dan perhatian tapi selalu dalam bentuk keunggulan, harus presiden dulu, harus terpintar dulu. Then, what happens to a single mother yang harus mengurus anak dengan unconditional love. Gue bangga juga dengan para perempuan berprestasi, tapi rasanya we shouldn't stop there.

One is A Million in Melbourne (Foto: Dok. Ruth Marbun)

Okay, so what is the greatest dream of an artist?
Terus berkarya. Soalnya menurut aku, it is challenging dalam banyak hal. Akan lebih challenging ketika sudah sukses dan dikenal orang. Buat aku, mereka yang masih bisa berkarya through their masa kejayaan and all the age, menurut gue luar biasa sih. Apalagi kayak seharusnya mereka sudah gak perlu ngapa-ngapain lagi, sudah punya semuanya, secara pendapatan dan pengakuan juga sudah cukup, tapi masih mau berkarya. Apalagi kalau sudah ada di titik tertinggi, biasanya go downhill setelahnya. Orang-orang akan selalu membandingkan dengan masa kejayaan. Seperti misalkan Paul McCartney dari The Beatles, orang-orang selalu membandingkan, tapi dia tetap membuat karya padahal dia bisa santai saja. Bermusik ini sudah mengalir di dalam darahnya, jadi bukan masalah apakan orang suka atau tidak, it is about putting this out, supporting the system, get people working around it, it is about continuing life and just do it. Jadi, buat gue sih memiliki bensin dalam berbagai aspek untuk tetap berkarya sampai tua sih, that's the dream.

Karya dari Utay dapat Anda saksikan dengan mengunjungi galeri Artsphere selama pameran Art Jakarta berlangsung pada tanggal 30 Agustus hingga 1 September 2019 di JCC Senayan, Jakarta.