Jika saya memutar kembali ingatan saya ke masa sekolah menegah atas dulu, saat ketika menginjakkan usia belasan tahun. Masa-masa seorang anak bertumbuh dewasa dan mulai memiliki pikiran kompleks dan jiwa perasa yang mulai sensitif. Saat itulah mulai mencerna setiap penilaian orang lain akan diri pribadi.
Saya masih ingat sekali ketika itu, salah seorang teman menuliskan penilaian tentang saya yang dituliskan di salah satu halaman organizer. Dan salah satu testimonial mengenai saya adalah ‘pendengar yang baik’. Tentu ketika itu predikat tersebut ibarat sebuah prestasi. Bahwa selalu ada untuk orang lain, dan mendengar keluh kesahnya adalah sebuah cerminan dari seorang yang baik, bahkan sahabat terbaik.
Saat itu saya tidak pernah terpikirkan dalam benak, bahwa menjadi pendengar yang baik itu sebenarnya merugikan saya. Mengapa demikian? Ya, karena mendengarkan curahan hati orang lain, sama saja membuang waktu saya secara percuma. Tanpa dirasa mendengarkan seseorang berkeluh kesah paling sedikit menghabiskan waktu 3 jam, belum lagi jika adegan curhat itu dilakukan disebuah café, yang paling sedikit menghabiskan dana untuk minum dan makan.
Dari sisi waktu dan keuangan tentu sangat merugikan, sementara disisi energi. Tidak sedikit tenaga kita terkuras untuk fokus kepada obrolan seseorang dan memutar otak untuk mencari feedback yang memotivasi, tidak memojokkan dan bermanfaat bagi orang tersebut. Sementara disisi emosional sebagai pendengar terkadang kita turut terpancing dengan jalan cerita yang mengesalkan atau menyedihkan. Terlebih lagi tidak sedikit keluh kesah yang menyeret kita turut memiliki point of view yang sama dengan si narasumber, sementara kita belum mendengar versi lain dari cerita tersebut.
Menjadi pendengar yang baik tidak mudah. Sementara manusia terkadang apabila sudah nyaman, akan semena-mena terhadap pedengarnya. Sang narasumber akan merasa ringan di dada dan hatinya apabila sudah menumpahkan unek-uneknya. Sementara sang pendengar akan merasa terkuras habis energinya ketika ia telah sampai dirumah.
Salah satu egoisnya sikap manusia yang memilki pribadi Alpha, adalah ia hanya mengutarakan tentang dirinya, secara terus menerus, sementara yang mendengarkan hanya mengantuk dan mengangguk, berpura-pura mengerti segala duduk permasalahannya.
Beberapa waktu lalu saya berada dalam situasi dimana saya harus menjadi pendengar untuk beberapa orang kenalan saya. Dan ya, lagi-lagi situasi tersebut tak hanya menyiapkan telinga tetapi energi pun turut terkuras. Nah saya sekarang menjadi lebih paham mengapa seseorang itu semakin bertambah usia semakin sedikit temannya, mungkin hal tersebut dikarenakan terkadang untuk bersosialisasi dengan orang lain saja sudah lelah, apalagi bila harus mendengarkan setumpuk permasalahan hidupnya.
Photo by Adrian Regeci- Pexels.com