Judul diatas mungkin terdengar puitis, dan mengingatkan sebuah kata pada sajak atau lagu semasa kecil dulu. Tetapi sesungguhnya makna yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini bukan itu.
Jika Anda pernah mendengar sebuah bahasa pergaulan atau bahasa slank tahun 90-an akhir, dimana seorang komedian Debby Sahertian sering memplesetkan kata atau kalimat mengenai seseorang yang pelit (kikir), nah maka Pelita Hati disini artinya adalah Pelit.
Sepuluh tahun yang lalu Almarhum mentor saya di majalah CLARA, yaitu Samuel Mulia, sering mengatakan bahwa semakin seseorang itu bertambah usia maka, maka akan semakin memfilter lagi pertemanan dan pergaulan yang berada disekelilingnya. Dalam artian, seseorang akan hanya bisa berdekatan dengan orang-orang yang satu frekuensi dengannya saja.
Hal ini dikarenakan semakin dewasa seseorang, maka permasalahan hidup yang datang akan semakin beragam. Maka kapasitas manusia untuk lebih memahami manusia lain, bertoleransi dengan sikap orang lain akan semakin tipis. Maka tak heran jika kita sering mendengar kalimat seperti ini “Mikirin hidup sendiri saja udah ribet, mau mikirin orang lain lagi? No, thanks!”
Nah kembali ke “Pelita Hati” diatas, baru-baru ini saya bertemu dengan teman saya. Selayaknya teman yang sudah lama tidak berjumpa, maka agar pertemuan tersebut berkualitas. Maka saya pun mencoba bertemu dengan agenda menonton dan makan di salah satu mall bilangan Jakarta Pusat. Satu jam pertama pertemuan kami dapat dikatakan sangat seru, saling bertukar cerita dan point of view akan suatu topik.
Begitu pula sampai seusai kami nonton dan makan malam bersama, pembicaraan pun masih bergulir dengan baik. Walhasil kami pun pulang bersama, dikarenakan saya yang membawa mobil, maka saya pun berinisiatif untuk mengantarnya pulang.
Namun sesampainya di parkiran, tepatnya di palang pintu pembayaran parkiran otomatis, ternyata kartu tap pembayar parkir tidak memiliki saldo yang cukup. Walhasil saya pun panik, karena takut ada mobil dibelakang saya yang juga mau keluar. Saya pun bergegas membuka mobile banking untuk mengisi saldo kartu tap tersebut. Tetapi karena di area parkiran basement tidak memiliki signal yang stabil, maka aktivitas top up kartu pun gagal.
Lantas teman saya yang saat itu duduk disamping saya pun menawarkan diri untuk memeriksa kartu tersebut melaui mobile banking miliknya. Ketika ia mencoba menempelkan kartu tap tersebut ke perangkat smartphone miliknya, kartu tersebut pun langsung tersambung dan otomatis menunjukan sisa saldo kartu tersebut.
Nah sewajarnya saja jika seseorang yang berakal dan berniat baik, ketika seseorang menawarkan untuk menempelkan kartu tap tersebut ke smartphone dan mobile banking-nya, seharusnya adalah membantu untuk mengisikan saldo tersebut terlebih dahulu, karena saat itu adalah bertujuan untuk mempercepat keadaan sulit yang sama-sama kita hadapi. Tetapi kenyataan berkata lain. Teman saya itu hanya menempelkan kartu tersebut untuk memastikan bahwa mobile banking tetap bisa aktif dibuka sekalipun di lantai basement parkiran saja. Tak ada nalar atau niat untuk mengisikan terlebih dahulu untuk menyelamatkan situasi. Ia pun mengembalikan kartu tersebut ke saya dan menyuruh saya untuk mengisi melalui smartphone saya.
Dari detik itu hingga perjalanan menuju apartemen miliknya saya terdiam dan shock. Kok, bisa ada manusia seperhitungan seperti dia, padahal dalam keadaan genting. Ditambah lagi dia menumpang di mobil saya.
Nah, mungkin ini yang dikatakan oleh Almarhum mentor saya, Samuel Mulia. Bahwa semakin seseorang dewasa, maka ia akan lebih mem-filter lagi siapa saja yang bisa dekat dengannya. Dan untuk pengalaman ini saya sudah mem-filter satu orang dalam sekumpulan pertemanan saya, agar saya lebih berhati-hati terhadap orang ini. Karena dalam hal sepele saja ia bisa tega memperlakukan saya, lantas bagaimana kalau kami sama - sama terkondisikan dengan suatu masalah yang lebih besar dan serius lagi?