Pameran Seni Argya Dhyaksa, tentang Pembelajaran Menerima Ketidaksempurnaan

Pameran tunggal pertama Argya Dhyaksa bertajuk "As Delicious As My Forehead", digelar dari tanggal 24 Agustus 2019 sampai 15 September 2019, di Ruang Dua Sembilan.

Saya percaya selalu ada maksud di balik setiap kejadian. Sama halnya ketika saya tiba-tiba ditugaskan untuk mewawancari seorang seniman muda dari Rachel Gallery -yang jujur- baru pertama kali saya dengar namanya; Argya Dhyaksa.

Terik matahari dan biru langit menemani saya hingga tiba di sebuah galeri bernama Ruang Dua Sembilan, kawasan Grogol, Jakarta Barat. Ketika melangkah masuk ke dalamnya, saya disambut oleh banyak karya seni keramik yang rencananya akan dipamerkan tiga hari setelah kunjungan saya itu. Seisi galeri terlihat berantakan, namun hal itu membuat saya lebih merasa seperti sedang berada di ruang bermain anak-anak, ketimbang di sebuah galeri seni yang kerap terkesan formal. Saya sampai harus merasa berhati-hati dalam melangkah. Tetapi, "kalau rusak, ya tinggal dibetulkan, nggak usah terlalu pusing," kata sang seniman dengan santai.

Argya Dhyaksa mengekspresikan kreativitas melalui media keramik, dengan bentuk akhir abstrak, hasil penggabungan hal-hal yang ia temui di kehidupan sehari-hari. Saya ingin memastikan konsep pemikiran saya ketika melihat karyanya dengan makna di balik karya sang seniman. Namun uniknya, dengan enteng dia menjawab, "Tidak ada". Ternyata, proses Argya dalam membuat karya seni, justru dijadikan momen, di mana ia dan karya seni dapat saling memberi makna. Dari karya-karyanya ia belajar akan arti ketidaksempurnaan dan menerima ketidaksempurnaan hidup. Setidaknya, saya tangkap itulah pesan yang ingin ia sampaikan.

"As Delicious As My Forehead" by Argya Dhyaksa (Foto: Dok. Rachel Gallery)

Pameran tunggal pertama Argya Dhyaksa bertajuk "As Delicious As My Forehead", digelar oleh Rachel Gallery dari tanggal 24 Agustus 2019 sampai 15 September 2019, di Ruang Dua Sembilan.
 

"Semakin hari, semakin banyak keramik yang saya buat, saya seolah mendapatkan begitu banyak penyadaran. Seperti, salah satunya kepercayaan kepada Tuhan. Saya sudah berusaha menciptakan keramik yang bagus. Awalnya ingin sesempurna mungkin, ingin yang bagus, pasti semua orang juga begitu. Lalu, lama-kelamaan tidak semulus itu. Ketika karya dimasukkan ke tungku, kita tidak tau apa yang akan terjadi di dalamnya. Terus, kita mau berpegang kepada siapa? Ya, setidaknya mengingat Tuhan, lah..."
- Argya Dhyaksa


Seniman yang akrab disapa Gia tersebut terlihat kikuk dan malu-malu. Mungkin karena ini adalah pameran tunggal pertamanya. Tetapi, perbincangan singkat dengannya tentang karya-karya dan perjalanan Gia di dunia seni, memberi saya pelajaran baru, bukan hanya tentang seni, tetapi juga hidup. Bahwa nyatanya, sebuah makna tidak selalu kita temukan di hasil akhir. Seringkali, makna justru ada diproses. Sepulangnya dari sana, saya bertanya pada diri sendiri; Apa yang sesungguhnya manusia kejar? Kesempurnaan? Atau proses? Sore itu, saya kembali diingatkan bahwa kesempurnaan memang tidak pernah dimiliki manusia, namun manusia selalu dapat menimba proses yang menjadikannya lebih baik.

Bagaimana awalnya Anda terjun ke dunia seni?
Feeling saja, sih. Lebih suka mengekspresikan diri sendiri.

Sejak kecil sudah ada kesukaan di dunia seni?
Ada, tapi tidak spesifik seperti yang saat ini. Awalnya sukanya desain grafis dan tipografi. Lalu, lama-lama tetap memutuskan untuk masuk ke dunia seni ini.

Jadi, ketika di kuliah baru akhirnya Anda memutuskan fokus ke seni ini?
Tertentukan, akhirnya. Jadi bikin keramik.

Bagaimana awal mula karya keramik Anda?
Masih dengan bentuk objek organik dan handmade. Ketika membuat karya handmade, karya tersebut langsung kena tangan. Jadi, ada sebagian dari diri kita yang menyatu. Kita bisa lebih intim merasakan material tersebut ketika membuat keramik. Kalau melukis, ada tangan kedua, yaitu kuas. Kalau keramik, benar-benar tangan bersentuhan langsung dengan materi, meskipun mewarnainya juga dengan kuas. Tapi, proses pembentukannya lebih intim. 

Bagaimana dengan ide dari suatu karya yang Anda ciptakan? 
Saya suka menggabungkan hal-hal yang saya lihat, dari hal yang ada di sekitar saya atau sedang ada hal random di Internet yang menurut saya bagus. Misalnya, dari satu karya ada penggabungan kucing, astronot, helikopter, rubah, menjadi kolase distilasi. Gabungan dari apa yang saya lihat dan terpikirkan. Kalau dibilang inspirasi dari alam, ya mungkin lebih ke alam bawah sadar. Jadi, kadang saya hanya membuat bentuk yang memang tidak jelas. Kalau sedang tidak pegang keramik, saya sketch terlebih dulu. Tapi, bisa juga secara spontan ketika saya sedang pegang keramik.

Tapi, apakah ada makna dari karya-karya ini?
Kebanyakan tidak ada maknanya. Kalau yang pribadi ini hanya untuk ekspresi, hura-hura visual saja.

Jadi, Anda mewujudkan diri Anda melalui karya-karya ini? 
Ya, bagian dari diri saya.

"As Delicious As My Forehead" by Argya Dhyaksa (Foto: Dok. Rachel Gallery)

Bagaimana Anda mendeskripsikan bagian diri Anda tersebut?
Ya, ada diri saya di dalam karya-karya saya.

Bagian diri seperti apa? Karena kalau dilihat, karya ini kan sangat berwarna sekali tapi Anda...
Gloomy, hahaha...

Nah, bukan saya yang ngomong ya, hahaha...
Jadi, apa yang tidak bisa saya capai, saya buat melalui karya saya. Saya itu gloomy, tapi saya ingin mengekspresikan warna-warna. Mungkin, bahkan yang sesungguhnya apa yang saya inginkan ada di karya saya.

Bagaimana proses pembuatan karya Anda? Kira-kira berapa lama proses pembuatannya?
Beda-beda. Tergantung mood. Tapi, kalau keramiknya, paling cepat bisa sehari untuk satu karya. Tapi, bisa juga sebulan. Kalau keramik sebenarnya banyak ritualnya. Dari banyak ritual itu, banyak juga yang saya pangkas dan ada juga yang tidak pernah diajarkan di perguruan tinggi. Saya bikin-bikin saja sendiri, mungkin kalau dosen saya lihat, dia bisa nangis. Jadi, keramik brutal, istilahnya. 

Tapi, saya suka dengan konsep Anda yang sempat Anda nyatakan tadi, bahwa tidak apa untuk menjadi tidak sempurna. Mengapa hal ini yang ingin Anda ungkapkan?
Ini saya dapatkan seiring dengan perjalanan saya dalam membuat keramik. Semakin hari, semakin banyak keramik yang saya buat, saya seolah mendapatkan begitu banyak penyadaran. Seperti, salah satunya kepercayaan kepada Tuhan.

Oh, ya? Dari keramik?
Iya, karena saya sudah berusaha menciptakan keramik yang bagus. Awalnya ingin sesempurna mungkin, ingin yang bagus, pasti semua orang juga begitu. Lalu, lama-kelamaan tidak semulus itu. Ketika karya dimasukkan ke tungku, kita tidak tau apa yang akan terjadi di dalamnya. Terus, kita mau berpegang kepada siapa? Ya, setidaknya mengingat Tuhan, lah. 

Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan, ya?
Ya, benar sekali.

Apakah ada karya yang tidak Anda sukai?
Ada, biasanya tidak sampai dipamerkan. Karyanya tidak 'nge-feel' aja, kalau feel-nya tidak dapat, ya sudah. Kalaupun ada, ya sudah.

Biasanya berarti ini berhenti saat proses yang mana?
Ketika sudah jadi banget. Kadang, ketika keramik keluar dari tungku tidak selalu sesuai dengan apa yang diinginkan. Lama-lama sudah mulai bisa menerima. Dari yang awalnya gak ah, gak ah, terus sekarang ya sudah lah, bentuknya kayak gini pun, ya sudah. 

Apakah ada momen terbaik sebagai seorang seniman?
Nanti, ketika pembukaan pameran ini, mungkin.

Jadi berapa lama proses pembuatan karya untuk pameran ini?
Dihubunginya sih sudah dari akhir tahun 2018 atau awal tahun ini. Tapi, bikinnya banget baru setelah lebaran kemarin, hahaha... Soalnya, saya kan bikin campuran tanah untuk keramik ini pun sendiri. Proses ini sempat gagal, sudah jadi pun pernah ada yang pecah. Setelah lebaran, baru benar-benar mulai.
 

Apakah ada satu judul karya yang bisa diceritakan?
Judul mah saya bikin ngaco saja. Misalnya, judulnya "Painting, Printing, Drawing", jenis-jenis seni yang lain. Tapi, tidak menggambarkan apapun. Jadi, ya biar bodo-amat saja. 


Dalam membentuk sebuah karya besar, apakah objek ini dibuat secara independen atau sudah dipasangkan sejak awal?
Satu-satu, sih. Bahkan bisa berubah lagi penempatannya. Dan, saya juga tidak peduli bentuknya berubah dari sesuai rencana pun, ya semua di dunia ini tidak sesuai dengan rencana kita toh?

Wah, saya suka sekali dengan tulisan di salah satu karya, "Work hard until you dikira jual narkoba".
Awalnya plesetan-plesetan pun datang dari kelemahan saya juga, saya tidak bisa fokus dalam membaca. Tulisannya kadang bercampur, jadi plesetan sekarang. Bentuk keramiknya pun tidak sempurna karena memang saya tidak bisa bikin yang bagus juga. Jadi, ya menerima kekurangan saya sendiri tapi saya memperlihatkannya kepada publik, saya begini. Kan kalau di sosial media, seseorang berusaha untuk tampil sempurna. Tapi, ya saya nggak, menerima saja.

"As Delicious As My Forehead" by Argya Dhyaksa (Foto: Dok. Rachel Gallery)

Sejak memulai karier ini, apakah Anda pernah merasa bahwa menjadi seniman bukan jalan yang tepat untuk Anda?
Setiap hari kayaknya, hahaha... Keraguan-keraguan itu pasti muncul. Kalau istilah orang Sunda, dipoyok dilebok, yang artinya digunjing tapi disukai juga. Saya teh kayak, apa sih ini, tapi tetap dijalanin juga. Benci tapi cinta kali, yah?

[[Di tengah perbincangan, Gia berseru kepada seseorang yang tidak sengaja hampir menginjak karyanya]]
Eh itu, khawatir keinjek!

Oh iya! Pernahkan ada karya yang pecah karena orang lain?
Bukan pernah lagi sih! "Penah nggak sih, ada karya yang nggak pecah?", mungkin yang benar. 

Bagaimana perasaannya ketika karya Anda rusak?
Ya, tinggal disambung saja. Kan, saya sudah di dalam fase menerima. Kalau pecah ya tinggal dibenari saja. Apapun yang terjadi, kesalahan apapun bisa diperbaiki, konsepnya begitu. Bahkan kan ada di dalam budaya Jepang, namanya Kintsugi, sesuatu yang rusak bahkan bisa lebih indah dari sebelum ia rusak. 

Bagaimana Anda melihat proses berkarya Anda?
Sangat-sangat menakjubkan. Karena, berkarya seperti penemuan diri, ternyata saya itu orang yang bagaimana. Dalam berkarya, saya menemukan banyak hal, seperti tentang Tuhan, penerimaan diri sendiri, bagaimana saya menghadapi kesulitan dalam berkarya dan menanggulanginya. Kayak saya ditempa oleh karya saya sendiri.

Jadi dibentuk oleh karyanya ya, tidak hanya sekadar Anda yang membentuk.
Ya, saling membentuk.