Sebagai seorang pecinta teater musikal, tentu saya memiliki standar khusus untuk dapat memenuhi kepuasan saya dalam menikmati suatu pementasan teater. Terlebih lagi sebagai seorang yang sangat visual, kecakapan dari berbagai elemen mulai dari setting latar, kostum, riasan wajah - rambut, dan tata cahaya menjadi pendukung yang penting dari jalan cerita sebuah teater. Disisi lain pondasi dasar dari teater adalah penguasaan karakter, akting dan kemampuan vokal yang diatas rata-rata. Semua menjadi paket khusus untuk menjadikan suatu performance dapat dikatakan spektakuler.
Dunia teater bagi negeri ini memang bukanlah suatu yang baru, seperti Teater Koma yang telah berdiri sejak tahun 1977 dan banyak lagi teater lainnya. Seiring perkembangan zaman, generasi dan pengaruh dari luar negeri, tentu menjadikan kreatifitas dan selera semakin variatif, ada yang bernuansa tradisional, kontemporer, hingga bernafaskan Broadway. Dan lebih dalam satu dekade terakhir generasi milenial dan gen-z mulai membidik suatu karya bernafaskan musikal. Terutama gaya ala Broadway yang lengkap dengan nyanyian, tarian dan akting. Beragam pementasan pun diselenggarakan, mulai dari menampilkan naskah aslinya, hingga mengadaptasi dari film musikal dan lain sebagainya.
Lantas apakah hal tersebut berhasil? Tentu menjadi suatu tantangan besar bagi para pemeran dan seluruh tim yang terlibat. Seperti misalnya penggunaan bahasa Inggris yang terdengar tidak natural, warna vokal yang berbeda, hingga sosok pemeran yang secara visual tidak mendukung karakter yang diperankan. Bagi saya walaupun hasilnya tidak begitu memuaskan, tetapi usaha yang dilakukan cukup dapat diapresiasi. Setidaknya industri teater tetap selalu ada pergerakkan.
Di akhir bulan Oktober yang lalu Galeri Indonesia Kaya kembali merilis karya tahunan teater musikal secara daring, setelah tahun lalu sukses menampilkan Nurbaya. Terinspirasi dari kisah komposer tanah air Ismail Marzuki, teater ini diberi judul Payung Fantasi. Sebuah judul yang diadaptasi langsung dari lagu Payung Fantasi karyanya. Tingkat kesulitan tentu terlihat menantang, mengingat kisah ini belum pernah ada dibuat. Lain halnya dengan Nurbaya yang telah dikenal melalui novel dan film.
Karya lagu-lagu gubahan Ismail Marzuki memang tak perlu dipertanyakan keindahannya, dari lirik yang sederhana namun bermakna mendalam. Namun pertanyaannya apakah Galeri Indonesia Kaya berhasil menerjemahkannya dalam wujud teater musikal? Yup, standing ovation! hasil akhir yang ditampilkan dapat dikatakan sebagai suatu prestasi dalam sejarah teater musikal di negeri ini. Hal pertama yang dapat digarisbawahi bahwa mengawinkan esensi Indonesia dalam nafas Broadway amat jarang dapat terlihat natural tanpa terkesan memaksa, namun seluruh pementasan ini berhasil memadukannya. Lalu poin kedua adalah akting dalam medium kamera namun tetap dalam bahasa tubuh teatrikal adalah suatu hal sulit, karena totalitas akting panggung tidak dapat seluruhnya diaplikasikan ketika di depan kamera, seperti teknik micro expressions yang juga wajib dimunculkan. Ini adalah suatu prestasi bagi sang sutradara, karena dapat menjadikan akting para pemeran terlihat rata dan sesuai kebutuhan kamera tanpa menghilangkan ciri khas teatrikal. Disisi lain teknik sinematografi yang diambil tanpa potongan dalam satu scene panjang adalah sebuah ide yang brilian.
Visual lainnya juga didukung oleh tata kostum yang sangat rapih dan tidak berlebihan, menjadikan harmonisasi warna dalam setiap scene terlihat segar, begitu pula dengan tata cahaya dan color grading. Sementara para pemeran juga telah memainkan tugasnya dengan sangat baik, dalam pilihan casting yang pas dan teknik vokal yang diatas rata-rata. Satu hal terakhir yang cukup jeli bagi tim produksi ini adalah penempatan cameo yang mewarnai dibeberapa scene andalan.
Saya rasa satu juta penonton di minggu pertama penayangan akan setuju apabila teater musikal Payung Fantasi ini ditampilkan dalam versi panggung (live). Pasti akan lebih membuat penonton lenggang mengorak dan menarik hati serentak, benarkan?!