My Favorite Memory

Common Sense

Jika sebuah pertanyaan dilayangkan kepada saya, mengenai apa memori terfavorit untuk saya? Maka tentu membutuhkan waktu berhari-hari untuk memutar ingatan kembali, apa saja yang pernah terjadi dalam hidup saya dan menjadi suatu momentum terspesial.

 

Sebagai manusia yang telah hidup melewati empat dekade perputaran bumi maka beragam fase yang terekam haruslah dipilah menjadi berberapa archive yang  disetiap satuannya terbagi lagi menjadi beberapa sub emosi yang berbeda-beda.

 

Untuk kali ini saya akan membahasnya dalam ruang lingkup karier selama dua dekade terakhir. Hal ini dikarenakan pada dua dekade terakhir bagi saya, banyak memberikan pengaruh pada apa yang saya lakukan hingga saat ini.

 

Di fase usia dua puluhan inilah saya mulai lebih banyak tereksplor pada dunia luar, karena layaknya banyak orang pada usia inilah aktivitas lebih banyak dilakukan di luar rumah. Mulai dari menuntut ilmu di bangku kuliah, bersosialisasi dengan teman, hingga mulai belajar bagaimana mencari uang saku pribadi untuk tambahan jajan. 

 

Pada saat itu saya banyak mencoba berbagai pekerjaan, tanpa mengenal gengsi dan malu. Yang saya ingat saat itu adalah bagaimana mendapat uang hasil keringat sendiri. Semua diawali dengan bekerja sebagai penyobek tiket di suatu pameran, perkerjaan mudah tanpa perlu memikirkan laba atau pun teori ini pun berlanjut ke pekerjaan lainnya, hingga menjadi pembagi sampling untuk produk shampoo di suatu supermarket di pinggiran Jakarta.

 

Tak berapa lama setelah itu sebuah agency model pun menawari kontrak kerja sama untuk bergabung bersama mereka sebagai talent. Saya pun diminta untuk berhenti melakukan jenis pekerjaan freelancersebelumnya. Dititik inilah saya mulai mengenal apa yang disebut dengan menjaga image agar harga jual saya tinggi. Lingkungan pekerjaan saya pun menjadi berbeda, saya lebih banyak berinteraksi dan berekspresi di depan kamera. Jika sebelumnya pekerjaan saya hanya sebagai robot berjalan, sementara di level ini saya harus berakting menjadi orang lain.

 

Tentu bukan suatu yang mudah bila dalam pekerjaan sehari-hari harus berganti-ganti personality. Sementara ego intelektual pun berkecamuk dalam hati. Merasa ilmu yang telah saya kejar mati-matian di bangku kuliah tidak dipergunakan dengan sebagaimana mestinya. Setelah lima tahun berjalan saya pun memutuskan untuk bekerja di suatu media, di fase inilah saya mulai belajar dengan banyak hal. Tak hanya dari sisi kreatifitas saja yang ditantang, melainkan juga ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah juga terpakai dengan maksimal.

 

Cara pandang untuk menilai sesuatu pun terasah dengan sangat baik. Bagaimana cara membuat perencanaan kerja, budgeting, dealing dengan klien hingga berpergian ke mancanegara untuk meliput sesuatu dan belajar mengenai budaya, sosial dan banyak hal lainnya. Namun disisi lain jika dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya sebagai talent, pendapatan pas-pas an. Dengan kata lain BPJS (Budget pas-pas an, jiwa sosialita), tapi siapa yang akan mengeluh jika sebuah passion terpenuhi. Maka menjalaninya pun dengan sepenuh hati.

 

Namun ibarat roda yang berputar kondisi pun tidak dapat bertahan dalam situasi yang sama.  Ketika pandemi melanda saya pun mengundurkan diri dari bidang ini, saya pun membanting stir untuk mendalami profesi lain sebagai instruktur yoga. Dari fase inilah saya belajar akan suatu hal, bahwa kehidupan media yang sebelumnya saya jalani, tidak memberikan jeda sedikit pun untuk saya memikirkan diri sendiri, dan berfokus kepada diri untuk sesaat. Lagi-lagi selalu ada celah dari sesuatu yang kita pikir adalah baik untuk kita pribadi.

 

Hingga di fase saat ini, tepatnya di dekade keempat dari fase kehidupan saya. Kembali saya melihat sesuatu yang lebih luas lagi. Bahwa segala sesuatu yang telah saya pernah jalani dulu sebenarnya adalah tahap pembelanjaran untuk mengali dan mendalami skill apa saja yang miliki namun belum ter-unlocked.

 

Dalam pandangan saya saat ini, Tuhan telah membuat grand plan untuk alur kehidupan manusia agar kehidupan yang dijalankan oleh manusia tidak selalu berjalan stabil. Karena dalam keadaan tidak stabil-lah, manusia justru dapat membuka dimensi lain dari dirinya.

 

So, what is my favorite memory? Jawabannya ada pada paragraf diatas ini.    

 

 

Foto: Lisa Fotios - Pexels.com