SANDYAKALA SMARA - Asmara di Langit Senja Bergurat Merah

Sore menjelang senja saat keriaan mulai terasa di Yasa Amrta yang merupakan tempat dimana Denny Wirawan akan memperagakan rangkaian koleksi Ready To Wear Deluxe dan Ready To Wear Premium dalam rangka merayakan Sewindu kolaborasinya dengan Bakti Budaya Djarum Fondation.

Tetamu yang hadir, termasuk banyak sosialita ibukota di antaranya, terlihat cantik serta gagah dengan busana sesuai dress code, Kebaya Encim atau Cheongsam. Obrolan seru diselingi gelak tawa dan aba-aba memotret terdengar disana-sini. Ada yang sambil menikmati aneka penganan tradisional yang disediakan, ada yang sambil keluar masuk melihat-lihat Joglo Pencu yang merupakan Rumah Adat Kudus.

Tepat setelah adzan Mahgrib usai, pagelaran dimulai. Diawali dengan monolog Happy Salma yang bercerita tentang Batik Kudus, sejarah dan aplikasinya. Seperti biasa suara indah Happy Salma terasa bukan hanya menghanyutkan, namum mampu membawa pikiran saya membayangkan keindahan Batik Kudus yang dikenakan pada masa silam. Keindahan yang kemudian bisa saya nikmati langsung saat itu melalui karya Denny Wirawan.

Terbagi atas tiga segmen penuh keindahan. Pertama Mahajana, yang menampilkan keelokan Kebaya dan Kain Batik Kudus dengan ciri khas berpakaian perempuan peranakan Tiongkok pada dekade tahun 1930 – 1950an, yaitu Kebaya Encim dan kain Batik Kudus tanpa potongan. Tentunya semua dalam bentuk yang lebih modern, terlihat fresh, serta terasa kekinian. 

Pada babak 2 Asmaradana, dimana Denny Wirawan terinspirasi dengan era baru kebangkitan industri di Tiongkok tahun 1920-an. Masa dimana Cheongsam sebagai pakaian tradisional Tiongkok mengalami transformasi menjadi lebih modern dengan potongan lebih ketat dan memiliki kerah tinggi. Disini Denny menghadirkan Batik Kudus yang pada penerapannya mampu mencuri perhatian dengan lekukannya yang memesona dan gaun panjang yang memancarkan keanggunan abadi.

Pada babak 3 Layar Sutera (Journey to The Past), garis rancang Denny menarasikan citra keanggunan perempuan modern yang bertatakrama tinggi, meski berani, tegas, dan berwibawa. Kali ini Denny mengajak para penikmat mode untuk traveling ke masa lalu melalui keindahan motif-motif khas Tiongkok yang tertuang dalam helaian Batik Kudus. Hadir dalam siluet gaun malam, gaun panjang, mantel panjang (coat), dengan tambahan aksen bordir, payet, detail tiga dimensi menambah keindahan karya adibusana tersebut. 

“Mengolah Batik Kudus kembali menjadi bagian penting dari perjalanan kreatif saya sejak tahun 2015. Tahun ini telah sewindu keindahan Batik Kudus memberikan inspirasi yang membuat saya terus mengeksplorasi dan berkreasi. Koleksi Sandyakala Smara saya persembahkan sebagai bentuk dedikasi untuk menggali lebih dalam lagi potensi-potensi yang ada pada motif Batik Kudus yang belum tereksplorasi, setelah sebelumnya hadir koleksi Pasar Malam, Padma, dan Wedari,” ungkap Denny Wirawan.

Denny Wirawan menambahkan, “Koleksi Sandyakala Smara tak hanya sekadar busana, namun juga sebuah perjalanan budaya dan kreativitas yang mempertemukan antara masa lalu dan saat ini dengan harmoni. Sebuah perwujudan serta penghormatan atas warisan keindahan wastra dengan pembaruan yang dikemas dalam estetika yang memukau.”

Namun tidak dapat dipungkiri, keindahan karya Denny Wirawan tidak akan lengkap tanpa adanya koleksi perhiasan dari EPA Jewel, seperti cincin, gelang, anting-anting, dan kalung yang terinspirasi kejayaan kerajaan Tiongkok di masa lalu. Sangat cantik dan detail. Melihat peragaaan busana ini bagai melihat sebuah rumah dengan Denny Wirawan sebagai arsitek yang merancang bangunannya dan EPA Jewel sebagai desainer interiornya.

Sebagai sebuah pertunjukan, Sandyakala Smara merupakan suatu kesatuan yang memukau. Bukan hanya busana dan aksesoris saja, tapi juga monolog Happy Salma, petikan harpa Maya Hasan, Rumah Adat Kudus Yasa Amrta, dan tidak ketinggalan kota Kudus, kota kretek, yang masing-masing memiliki bagian penting dari keseluruhan acara.

Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation menyatakan, “Sandyakala Smara adalah bentuk dukungan tulus dalam melestarikan dan mengapresiasi kekayaan wastra budaya Indonesia, terutama Batik Kudus. Setelah 8 tahun perjalanan yang luar biasa, dengan bangga kami membawa Batik Kudus kembali ke akarnya, ke kota Kudus yang dikenal sebagai Kota Kretek, untuk perayaan penuh makna dan inspirasi. Ini menggambarkan bahwa Kudus bukan hanya dikenal sebagai penghasil kretek, tetapi juga memiliki batik yang bernilai tinggi sekaligus menghargai perjalanan panjang dalam berkarya lewat kain dan pola yang telah memberikan warna baru bagi dunia mode Indonesia. Acara ini juga dihadiri oleh sekitar 250 orang tamu undangan yang datang untuk mengenal dan menjelajahi budaya kota Kudus. Ini merupakan sebuah kesempatan untuk mengenalkan daya tarik Kota Kretek sehingga menjadi salah satu destinasi wisata yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat".