Gerakan untuk Perempuan, Moralitas, dan Kemanusiaan

Sering kali saya bertanya pada diri sendiri; Apakah tindakan yang satu orang manusia lakukan dapat benar-benar mewujudkan sebuah perubahan untuk dunia? 

Di tengah deru ragam kampanye sosial yang belakangan menerjang kehidupan modern, pertanyaan di atas seakan tak pernah usai menjajah optimisme saya pribadi. Ketika tengah menulis artikel ini di salah satu restoran ternama ibu kota, saya sempat terpaku beberapa saat menatap segelas es teh manis di hadapan. Bukan hanya karena sebenarnya saya tadi memesan es teh tanpa gula, tapi lebih karena sang pramusaji sekiranya berkata, "Pak, sekarang kami tidak menyediakan sedotan plastik".

Siapalah saya ini, sampai-sampai kalau saya menyeruput segelas teh tanpa sedotan plastik sore ini, maka es di kutub utara sana akan berhenti mencair dan lautan seantero bumi akan kembali bersih, sesuai dengan tujuan kampanye melawan global-warming?

Saya pun kemudian teringat akan sebuah pengalaman beberapa waktu lalu ketika kami sekantor pergi ke Bogor menggunakan kereta api. Seorang perempuan berhijab berjalan lurus di koridor kereta api, melewati laki-laki yang terlihat jelas menatapnya dari atas ke bawah, lalu matanya berhenti ke area bokong sang perempuan, yang seluruh auratnya sudah tertutup rapi. Bapak paruh baya itu kemudian berkata ke pria di depannya, "Montok tuh!". Akhirnya rekan sekantor saya yang juga seorang perempuan, berkata kepada perempuan tersebut, "Di depan saja, Mba. Masih banyak tempat duduk". Sepanjang perjalanan, kedua pria itu tidak saling bercakap, dan ketika kereta api berhenti di sebuah stasiun, salah satunya turun sendiri. Saya mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya kedua pria tersebut bahkan tak saling kenal. Mereka hanya merasa memiliki naluri berbagi "pemandangan", tampaknya. 

Salah satu kampanye yang tengah diperjuangkan sekarang ini adalah tentang paham feminisme dan women empowerement & equality. Beberapa perusahaan bahkan sudah banyak yang turut menyuarakan gerakan tersebut, entah sebagai tools marketing untuk mendapatkan image dan laba, ataupun memang benar-benar tulus, saya tidak tahu jelas. Tapi dari begitu banyaknya gerakan yang memperjuangkan hak dan harga diri perempuan, seberapa banyak manusia yang berhasil tersadarkan bahwa perempuan juga manusia?

Ketika memikirkan kembali pertanyaan yang saya tulis di awal artikel ini, saya tersadar bahwa segala bentuk gerakan dan kampanye, memang tidak diperuntukkan untuk mengubah seluruh umat, melainkan untuk mengubah satu manusia saja, yaitu diri kita sendiri. Yang diubah pun bukan kebiasaan, bukan pula tren, tetapi moralitas dan sisi kemanusiaan pribadi.
 

Ketika kita mampu berhenti menggunakan plastik, mampu memperlakukan perempuan sebagai mana mestinya, mampu menggunakan air secukupnya, ataupun setidaknya mampu membuang sampah pada tempatnya, artinya kita mampu meningkatkan kualitas kita sendiri sebagai seorang manusia yang memiliki akhlak dan moralitas seutuhnya.


Pertanyaannya, bukan lagi apakah kita mengikuti gerakan sosial yang sedang menjadi tren. Tapi, apakah kita sanggup mengubah cara kita menjalani kehidupan dengan akhlak dan moralitas? Karena semua tindakan yang kita lakukan, sekecil apapun, mempertanyakan kualitas kita sebagai seorang manusia. Kalau saya sendiri, ingin menjadi manusia yang lebih baik, bukan demi tren, tetapi demi derajat saya sebagai makhluk yang konon katanya berakal budi.

Sejak CLARA didirikan pada 2007 lalu, publikasi ini selalu menganggap perempuan sebagai makhluk yang hebat. Dan hal itu tak akan pernah berhenti. Sepanjang bulan Mei ini, CLARA-Indonesia.com ingin menunjukkan hal tersebut lebih besar lagi. Dan ketika bulan Mei berakhir pun, kami akan terus berusaha meningkatkan kualitas semua jenis manusia, termasuk perempuan. 

Beragam cerita dan berita mengenai perempuan inspiratif kami hadirkan melalui "THE WOMEN ISSUE", yang dapat Anda baca dengan mengklik di sini. Semoga apa yang kami dan jutaan manusia lainnya lakukan untuk kesetaraan perempuan, dapat terus mengubah diri kami sendiri menjadi lebih baik. Kami tak berencana mengubah dunia, kami hanya perlu mengubah diri kami sendiri. 

 

Salam, 

 

Andreas Winfrey
Editor-in-Chief

 

Photo Credit:
Foto: Melvin Roberto