Beberapa waktu lalu saya mendatangi Gereja Ayam yang terletak di Bukit Rhema, Kota Magelang, Jawa Tengah. Mendengar kata “Gereja” tentu saja dalam kepala kita menangkap sebagai tempat ibadah bagi umat Kristiani. Dalam benak saya sebagai umat agama lain, bolehkah saya untuk masuk ke dalam tempat tersebut?
Saat menginjakkan kaki masuk ke dalam, saya langsung bertemu dengan salah satu pengurus tempat ini, seorang wanita berhijab. Namun, ia menjelaskan bahwa tempat ibadah yang juga kini menjadi objek wisata ini, merupakan tempat beribadah untuk berbagai pemeluk agama apa pun dan dari bangsa mana pun.
Terkejut dan semakin penasaran. Akhirnya saya diberi arah ke lantai bawah tanah yang merupakan tempat beribadah. Dan saya akhirnya melihat memang tersedia tempat untuk beribadah bagi agama apapun. Terpampang jelas pula papan doa. Banyak kertas dengan berbagai harapan seluruh pengunjung dengan menyebut nama Tuhan dan cara berdoa yang berbeda tertulis di sana.
Saya melanjutkan untuk pindah ke lantai-lantai selanjutnya. Saya melihat banyak sekali mural yang memiliki pesan positif yang mengingatkan pada jalan yang benar.
Keluar dari tempat ini, saya memiliki renungan. Memang, bahwa damai merupakan hal utama yang diajarkan oleh tiap agama. Sayangnya, kedamaian itu ada yang mulai terusik. Persinggungan antara keyakinan sering saya temukan. Tapi di gereja ayam, saya temukan kedamaian dari perbedaan, yang sebenarnya memang bisa diciptakan.
Renungan lainnya, saya meyakini bahwa bagaimanapun cara kita berdoa dan berharap dengan Tuhan, Ia akan mengetahui dan memberikan jawaban terbaik bagi kita, umat manusia. Selama kita bisa terus mengingat-Nya dengan cara yang kita yakini dan percaya.
Mengapa keyakinan harus diperdebatkan?
Mengapa perbedaan harus disinggungkan?
Memang, Tuhan yang membuat perbedaan. Mungkin sebagai ujian bagaimana kita bisa mempersatukan tanpa melepas keyakinan dengan kebaikan.