There's no free lunch. Hampir semua orang tahu, mengerti, dan bahkan setuju dengan pepatah itu. Dan hampir semua orang itu termasuk saya. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua ada timbal baliknya, meskipun tidak melulu materi. Dan cinta adalah salah satunya, kecuali mungkin cinta seorang ibu kepada anaknya.
Namun semalam, saya dihadapkan pada hal yang membuat saya berfikir ulang.
Semalam saya menyaksikan, untuk yang kedua kalinya, Panggung Maestro 2024, sebuah pertunjukan tari, tutur, musik, rasa, dan gerak. Pertunjukan kali ini mengangkat Maestro dari daerah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tag line Menjaga Maestro, Melangkah Ke Depan juga bukan sekedar tag line semata. Saya menyaksikan sendiri bagaimana para Maestro yang hampir semua berusia 70 tahun keatas menari, menyanyi, dan berlenggok lenggok di arena pertunjukan. Bagaimana sepasang Pembarong kembar, Suwondo dan Suwandi (70 tahun ) menyuguhkan pertunjukan Reyog Ponorogo, menari menggunakan kostum yang beratnya tidak main-main. Bagaimana Mbah Sumber (94 tahun) menarikan Tari Topeng Kelana., Slamet (74 tahun) menarikan Tari Tari Topeng Patih, Mukayin (84 tahun) menarikan Tari Topeng Gunungsari dengan enerjik. Sementara Temu (71 tahun) melenggok centil menarikan Gandrung Banyuwangi.
Sedangkan dari daerah Nusa Tenggara Barat saya menyaksikan penampilan St. Linda Yuliarti (65 tahun) membawakan Tari Lenggo Siwe, M. Sale (79 tahun) menampilkan Mpa’a Sila, dan M. Yakub (77 tahun) mempersembahkan Gambo dengan gegap gempita.
Di ujung acara ketika para Maestro diminta tampil, bersama dengan generasi penerusnya yang juga ikut menari, di depan para penonton barulah saya menyadari, betapa usia mereka sudah tidak lagi muda. Terlebih para penari Topeng yang wajahnya tertutup topeng selama menari. Ketika itu pulalah saya yakin bahwa ada cinta yang tulus antara penari dan tariannya. Cinta yang tidak mengharapakan balasan. Cinta yang membuat umur terlupakan, kepala serta badan tetap digoyangkan, dan kaki kerap dihentakan.
Dan ketika dinginnya hembusan AC mulai terasa mengiris kulit, seorang panitia tampak membawa kain, menghampiri Mbah Sumber dan menyelimuti pundaknya yang terbuka. Saya bersyukur dalam ruangan teater Wahyu Sihombing lampu yang menyala hanya menyorot ke arena. Karena mata berkaca-kaca saya akibat rasa syukur atas keindahan budaya bangsa dan cinta tulus yang terlihat melalui pertunjukan ini, biarlah hanya menjadi konsumsi pribadi saja.