Less Is More

Common Sense

Entah apa yang membuat algoritma akun Netflix saya menyasar ke film 90-an, dan entah apa pula yang membuat saya akhirnya memilih salah satu film yang berjudul ‘Pretty Woman’.

 

Film yang diproduksi tahun 1990 tersebut ‘berhasil’ menjadi bahan tontonan saya di akhir pekan kemarin. Kalau ditelaah kembali sebenarnya film jaman dulu, sekalipun itu sekaliber Hollywood, ternyata masih ada detail-detail kecil yang belum sempurna. Sehingga saya pun kembali mempertanyakan, bagaimana bisa saat itu film-film Amerika dapat menguasai dunia? Sementara bedak yang dipakai oleh Julia Roberts saja masih belang, antara kulit wajah dan leher.

 

Set lokasi yang dipakai pun mayoritas masih studio, sehingga terlihat sekali kaku dan tidak orisinil. Ditambah lagi penempatan scoring music yang tidak sesuai dengan mood adegan yang ditampilkan. Sehingga jika bisa dikatakan bahwa sebenarnya kecermatan manusia jaman dulu sangat beda dengan saat ini. 

 

Saat ini kita kalau melihat film Hollywood hampir bisa dikatakan sangat sempurna. Sekalipun film tersebut mungkin diproduksi dengan budget yang kecil. Lalu apa yang membuat mereka bisa mendunia? Dan apa yang dapat membuat film ‘Pretty Woman’ menjadi ikonik dan klasik sepanjang masa, layaknya film ‘Home Alone’?

 

 

Satu yang saya pelajari dari film tersebut adalah mengenai kesederhanaan, bahwa dengan tehnik sinematografi yang tidak kompleks, estetik set yang tidak dibuat-buat, dan lebih mengutamakan chemistry antara pemain. Justru menjadi film tersebut lebih ‘nyangkut’ di hati.

 

Bayangkan jika produksi film saat ini, dengan mengandalkan green screen, visual effects dan berbagai kecanggihan lainnya. Justru terkadang menghilangkan ‘feel’ yang seharusnya ditangkap oleh penonton. Kelihaian akting para aktor jaman dulu pun dalam menghidupkan karakter sangat terasa mulai dari scene pertama.

Hal ini pun dapat kita rasakan ketika kita melihat sebuah foto hitam putih, bahwa foto monokromatis lebih memberikan ‘rasa’ tersendiri dibanding dengan foto warna dengan editan filter, dan sebagainya. Bahwa semakin dikit warna, justru semakin memberikan nilai emosional tersendiri.

 

Nilai emosional tersebutlah yang akhirnya akan dikenang terus sepanjang masa. Sama halnya seperti lagu ‘All I Want For Christmas Is You’ yang kerap kali diulang jutaan kali setiap tahun diberbagai negara, namun entah kenapa rasanya akan berbeda apabila momentum akhir tahun tanpa alunan lagu tersebut. Bahwa segala sesuatu yang diproduksi, apabila telah melibatkan chemistry penikmatya maka sampai kapan pun akan terus melekat dan selalu diingat.