“Makin dewasa, hidup isinya 70% ngamuk” kiranya seperti itulah bunyi sebuah posting-an di Instagram. Ketika membaca kalimat tersebut saya pun seraya tersenyum. Dalam hati tergelitik, karena sangat relatedengan kehidupan saya. Sebuah stage usia yang menginjak akhir 30-an. Fase dimana isinya tanggung jawab untuk kelangsungan hidup.
Sebut saja bayar billing rumah tangga yang setiap akhir bulan rasanya mencekik, belum lagi tetek-bengek lain yang harus dipenuhi. Disisi lain peran anak keluarga asia di usia sepantaran saya adalah membiayai orang tuanya, dan peran ini pun harus juga dijalankan. Tentu bikin ngamuk bukan?
Ketika saya kecil, saya selalu bercita-cita menjadi orang dewasa. Bercita-cita ingin bisa punya rumah sendiri, punya mobil sendiri, hidup bebas tanpa diatur orang tua. Dalam visual saya saat itu, hidup menjadi orang dewasa adalah segalanya, sehingga jika berbicara sama teman atau orang yang lebih tua, saya selalu bilang “nanti kalau aku sudah besar,…aku mau ini, mau itu dan bla…bla…bla” Impian banyak anak kecil di negeri ini pun di support sepenuhnya oleh Sherina dalam lagunya “Andai Aku Besar Nanti”
Hidup tampak bergelimang keindahan ketika dewasa. Namun nyatanya hanya fatamorgana. Perjalanan menuju dewasa sangat pelik dan berliku. Singkat cerita walaupun masa kecil saya cukup menyenangkan, tapi ternyata pahit getir kehidupan telah sedikit demi sedikit ‘menepuk punggung’ saya. Ketika usia 5 tahun saya menyaksikan perkelahian kedua orang tua saya, yang hampir bercerai. Lalu di usia 11 tahun saya dititipkan oleh tante dan om saya, dikarenakan orang tua saya harus pergi ke Belanda untuk menemani kakak saya operasi besar untuk setengah tahun. Dua tahun kemudian di usia 13 tahun, saya kembali melewati kepedihan rumah tangga, ketika kakak saya akhirnya meninggal dunia.
Menjalani kehidupan sebagai anak tunggal tentu tidak mudah. Jika orang-orang berpikiran bahwa menjadi anak tunggal artinya segala kemauan akan dituruti, nyatanya tidak seperti itu. Ketika usia remaja belasan setiap anak memiliki kebebasan untuk bermain bersama teman dan bebas untuk menyetir mobil, saya justru tidak punya kebebasan tersebut. Hal ini dikarenakan pola asuh anak tunggal yang overprotective.
Rasa dendam untuk bisa membawa mobil pun saya lampiaskan ketika saya sudah memiliki pekerjaan. Saya rela menyisihkan 70% pendapatan saya hanya untuk menyicil mobil pribadi. Tentu ini menjadi suatu yang berat karena saya tidak memilki uang ekstra untuk bersosialisasi dengan teman-teman. Perasaan minder pun mulai muncul.
Di usia 29 tahun tugas saya sebagai anak tunggal pun kembali diuji, dimana saat itu saya harus membereskan isu perselingkuhan ayah saya. Tak berhenti disitu di usia 31 tahun saya harus menerima kenyataan bahwa ayah saya menderita stroke dan membutuhkan perawatan khusus. Lalu di usia 38 tahun saya pun akhirnya harus menghadapi kepergian ayah saya untuk selamanya.
Tentu ujian hidup belum selesai disini, masih ada hal-hal lain yang mungkin harus saya lewatkan. Katanya kalau mau naik kelas harus bisa melewati ujian, nah seandainya ujian kehidupan ini ada contekkannya, mungkin saya lebih memilih untuk tinggal kelas. Tapi ternyata tinggal kelas itu tidak enak, jadi serba salah, enaknya gimana? Yaudah ngamuk lagi aja kau bandit!
Opening Photo by Keira Burton - Pexels.com
