Apakah Listrik Harus Padam demi Menghargai Cahaya Lampu?

Common Sense

Sebagian besar dari Anda mungkin berdomisili di Jakarta atau setidaknya di Pulau Jawa. Dengan demikian, Anda menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang merasakan imbas dari padamnya listrik. Apa yang Anda lakukan saat itu? Jujur, saya kebingungan di sepanjang Hari Minggu yang lalu. Ingin berdiam di rumah, namun gelap gulita dan rasanya gerah. Belum lagi mengingat sulitnya sinyal di bawah atap. Namun, jika ingin keluar, lampu lalu lintas yang juga terkena dampaknya pun menyebabkan begitu banyak kekacauan. Pusat perbelanjaan? Tentu ramai dengan mereka yang mengungsi.

Hari ini, saya kembali berada di ruangan kantor dengan pendingin ruangan, pencahayaan yang cukup, dan tulisan yang diketik dengan bantuan perangkat elektronik. Perjalanan dari rumah menuju kantor pun berjalan tanpa hambatan yang berarti karena lampu lalu lintas sudah kembali berfungsi. Komunikasi dengan teman, keluarga, dan rekan kerja juga kembali terjalin dengan mudah melalui ponsel genggam. Semua kembali normal. Namun, ketika yang normal ini direnggut, bukankah tetap merasa kehilangan?  They say, we take things (especially the ones that come easy) for granted. At least, I know I do.

Berapa banyak hal di dalam hidup yang seringkali terlupakan nilainya? Semua kenyamanan yang dengan mudah didapat menjadi tidak ada lagi nilai pengorbanannya. Jangankan berbicara tentang benda, apakah nafas ini sendiri masih disyukuri? Bangun dan menjalani kehidupan dengan anggota tubuh yang lengkap, apakah terasa biasa saja? Memiliki orang-orang sekitar yang dengan setia dan sigap selalu ada, apakah justru membuat kita menjadi orang yang tidak tau rasa syukur? I heard from a sermon, "overfamiliarity breeds dishonor". Yes, it really does. Terlalu biasa justru membuat Anda lupa rasanya jika tiada.

Berapa banyak orang yang bersyukur atas nafas yang diberikan secara cuma-cuma justru ketika terbaring tak berdaya dengan tabung oksigen? Berapa banyak yang bersyukur atas pekerjaan yang masih dipercayakan justru ketika berada di ambang putusan hubungan kerja? Ah, berapa banyak yang bersyukur atas pasangan yang setia justru ketika ia yang selalu ada akhirnya memilih untuk diam seribu kata dan pergi begitu saja? Ya, berapa banyak yang bersyukur atas kehadiran cahaya lampu justru ketika listrik padam? Ketika itu, bukankah cahaya dari senter mungil saja sudah begitu berarti dan mudah disyukuri?