Saya tidak pernah menyangka akan berkecimpung di dunia perhotelan. Kuliah di Universitas Prima Indonesia, dan lulus dari jurusan psikologi, rencananya, saya ingin melanjutkan pendidikan psikologi saya. Namun, karena ada stereotype di kota asal saya, Medan, berkuliah S2 itu sambil bekerja, dan atas saran sahabat terdekat, saya beranikan diri untuk coba apply ke perhotelan terlebih dahulu. Dengan harapan, saya bisa berpikir matang melanjuti S2, sambil meraup penghasilan.
Alhasil, jalan saya dilancarkan di industri perhotelan. Bermodal hanya kemampuan bahasa mandarin yang terbatas, saya coba masukan lamaran ke Bvlgari Hotels & Resort, di Bali sebagai retail assistant yang bertugas menjaga gift shop. Saya merasa nyaman bekerja di hotel. Saya merasa lebih seru industri perhotelan ini, dan tumbuhlah passion saya. Kebudayan perusahaan Marriott juga cocok dengan saya. Dengan semua hal positif yang mendukung, saya memutuskan untuk tetap di perhotelan.
Setelah dari Bvlgari, saya ingin pindah ke Maladewa, tapi sayang karena terhalang pandemi Covid-19, Marriott baru membuka kesempatan pre-opening domestik, di Surabaya. Kurang lebih satu tahun di The Westin Surabaya, saya mendapat tawaran di Four Points by Sheraton Surabaya. Setiap hotel di Marriott Group memiliki personal identity sendiri, dan di Four Points ini saya merasa cocok.
Kedekatan dengan tamu terjaga, tidak terlalu formal tapi tetap ada batasan. Kita berinteraksi dengan tamu lebih santai. Begitu juga dengan seragam, bergaya smart casual dengan sepatu kets. Tapi setelah pandemi, memang ada sedikit perubahan gaya interaksi dengan tamu, yaitu contactless. Semua serba digital, tinggal click-click, dan semua semua akan berjalan lancar. Mulai dari mobile check-in, mobile key, dan masih banyak lagi.
Pengalaman yang saya jalani, tumbuh dari sebelum hingga kehidupan setelah pandemi di perhotelan, memberikan saya peluang untuk belajar banyak hal. Saya tidak pernah menyesali keputusan awal untuk mencoba industri perhotelan. Stereotype akan budaya orang Medan pun, saya rasa menjadi awal yang baik. Seakan kita curi start. Sehingga, saat lulus kuliah S2, kita sudah paham apa yang harus dilakukan di dunia kerja sambil terus belajar.
Sebagai perempuan yang sedang mengejar karir di umur 30, saya bersyukur karena lingkungan kerja ini sangat menjunjung tinggi perbedaan. Tidak hanya tentang RAS, tapi kesetaraan gender dan disabilitas tidak mengalami perbedaan. Saya sendiri merasa setara dengan semuanya. Meski pernah mengidap polio yang meninggalkan cacat permanen di bagian kaki.
Ada satu nilai yang selalu saya tanamkan yakni “be better.” Apa yang kita lakukan hari ini, bisa menjadi pembelajaran untuk besok menjadi lebih baik. Khususnya untuk para perempuan di luar sana, kalian bisa terus asah softkill dan juga personal growth Anda. Jangan takut mengembangkan diri dan bakat, cari waktu untuk terus belajar. Semakin banyak ilmu yang kita punya, kita tahu bagaimana harus bersikap dalam segala situasi.
Saya pernah mendengar pandangan perempuan dengan hotel yang kerap kali konotasinya dianggap negatif. Tapi Anda tidak perlu ragu kalau itu memang bidang yang diminati. Di tengah era yang canggih ini, pemikiran itu sudah mulai luntur dan masyarakat sudah lebih pintar. Seperti yang saya bilang di atas, saya pribadi tidak pernah merasa diremehkan.
Memang segala sesuatu butuh proses. Namun jangan mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan. Yang namanya proses, tidak ada yang instan dan banyak tantangan. Tapi dari tantangan itulah kita bisa belajar. Suatu hari, kita bisa menjadi pribadi juga leader yang efektif, knowledgeable, dan terbaik.
Kalau boleh jujur, saya juga tidak menyangka bisa sampai mendapatkan J.Willard Marriott Award of Excellence. Setahu saya, yang pernah memenangkan ini adalah para senior yang sudah mengabdikan diri di Marriott Group bertahun-tahun. Sedangkan saya baru memulai karir di Marriot tahun 2017. Selama ini, saya hanya mempraktekan pepatah ‘do what you love, love what you do.’ Ketika kita melakukan hal yang lebih, itu tidak akan terasa berat. Kerja, kerja, kerja, ketika ada kesempatan saya mengembangkan diri.
Penghargaan ini membuktikan bahwa siapa pun, bahkan perempuan, asal mau bekerja keras, punya kesempatan yang sama di industri perhotelan. Dalam setiap senyuman yang Anda berikan kepada tamu, dalam setiap tantangan yang Anda hadapi, pekalah pada kesempatan untuk menunjukkan bahwa kesetaraan gender bukan hanya slogan, tetapi kenyataan yang bisa diwujudkan.
Melalui kisah ini, saya ingin berbagi perjalanan saya dan menginspirasi perempuan lain untuk meraih mimpi mereka di industri perhotelan.