Kendati kota Jakarta seluas ini, dengan penduduk yang padat seharusnya aplikasi kencan yang beraneka warna tersebut, harusnya memberikan hasil yang maksimal. Namun nyatanya…pemainnya 4L. Loe lagi, loe lagi!
Single and ready to mingle. Tentu menjadi suatu yang lumrah, jika seorang yang berstatuskan singleuntuk beredar di ragam aplikasi kencan. Pertama, katanya kan seseorang akan berumur panjang kalau punya teman hidup yang selalu ada disampingnya. Kedua, dengan kondisi kota besar yang hiruk-pikuk seperti ini, tentu dengan adanya aplikasi tersebut justru memudahkan para penggunanya untuk mencari the right one. Hal ini dikarenakan aplikasi tersebut telah mensortir orang berdasarkan interest-nya. Sehingga tak berat pula bagi mereka untuk melakukan pendekatan, dan mencari kesamaan hal antara si A dan si B.
Maka ibarat “Mak Comblang” maka pahala si pembuat aplikasi ini pasti akan besar sekali. Namun setelah lebih dari satu dekade aplikasi tersebut muncul ke ranah smartphone, nyatanya kesuksesan tersebut hanya beberapa persen hasilnya. Berdasarkan survey kecil-kecilan diantara teman sepermainan saya, mereka mengatakan tak ada yang berhasil. Entah dikarenakan motif pembicaraan yang zonk dari awal, hingga tak terciptanya komunikasi yang baik. Ataupun pelaku yang ditemui berkecenderungan ghosting, sehingga ketika obrolan sudah mulai pindah dari aplikasi kencan ke nomor WhatsApp pribadi, maka intensitas obrolan justru semakin jarang dan slow response. Dan akhirnya hilang tanpa jejak ditelan bumi.
Dapat dikatakan mayoritas pengguna aplikasi tersebut, bertipikal sama. Beda sekali seperti jaman dulu, yang mana untuk bisa berkenalan dan berbicara di telepon effort-nya sangat sulit dan panjang. Mungkin proses pelik tersebut pula yang membuat jantung deg-deg ser, bisa berlangsung lebih lama, ketimbang saat ini yang dimudahkan oleh aplikasi kencan.
Semudah menggeser jari ke kiri dan ke kanan, maka semudah itu pulalah perasaan berbunga-bunga itu pergi. Akhirnya hanya membuat kuota internet habis sia-sia tanpa ada juntrungannya. Lantas siapakah harus disalahkan? Sang pembuat aplikasi atau sang pengguna aplikasi?
Ternyata kota besar yang menampung jutaan penduduk, tak berarti membuat banyak pilihan untuk dikencani, justru membuat semakin seragamnya orang-orang di kota ini, yang keseringgan membuat jenuh dan trauma untuk kembali berkencan. Nah bagaimanakah dengan Anda? Apakah masih menaruh harapan dari aplikasi mejikuhibiniu tersebut?
Photo by cottonbro studio – pexels.com