Sebuah Perpisahan

Common Sense

If only I knew we’d say goodbye, I wouldn’t have loved you this much.

Setiap manusia tentu tidak ingin berpisah dengan sesuatu, terlebih atas apa yang mereka suka. Meski tahu bahwa tidak ada yang abadi dan suatu saat hal itu akan datang, saya percaya bahwa di dunia ini tidak ada satu pun yang siap untuk menerimanya. Maka, tak jarang mata menjadi berkaca-kaca, bahkan air mata pecah turun membasahi wajah mengiringi, bukan?

Saya termasuk orang yang membenci sebuah per­pisahan, entah pada akhirnya hal itu memberi rasa sedih atau bahagia. But it’s definitely a waste of time for me. Bayangkan bagaimana awal mula Anda membangun sebuah hubungan? Bermula dari penjajakan, kemudian mencoba ­meyakinkan hati masing-masing, sampai akhir­nya berusaha mempertahankan mati-matian dengan segala cara dan pengorbanan. Anda pasti setuju jika saya bilang bahwa semua itu bukanlah hal yang mudah ataupun murah. Bertahun-tahun menjalani hubungan artinya Anda mencurahkan segalanya untuk orang tercinta... Perasaan, ­kasih sayang, waktu, hingga uang. 

Sama seperti kisah saya dengan sebuah blush-on yang amat saya sayangi. Aduh, saya telah menunggu bertahun-tahun hingga pada akhir­nya merek perona wajah tersebut masuk ke ­Indonesia. Satu hari, senang sekali rasanya ketika mengetahui bahwa merek tersebut akan membuka gerai pertamanya di Ibukota. Sejak itu, saya terus menabung demi mendapatkan si produk impian, sampai akhirnya… I got it! Gunakan dengan hati-hati adalah hal yang terus saya tanamkan ketika memperlakukannya. Sampai suatu ketika, saya yang tidak pernah membawanya keluar dari kamar, justru memasukkannya dalam tas untuk pergi ke kantor. Ketika ingin menambah warna merah di pipi saat sore hari, tidak sengaja ia terjatuh. Dengan panik, saya membukanya, dan benar saja... Hancur berantakan. Kesedihan mendalam mulai bergelut di hati sambil saya berusaha untuk mengembalikannya. Dengan berbagai cara, akhirnya saya berhasil untuk mempersatukan kembali bubuk tersebut menjadi padat. Sayang, meski begitu, hasilnya tidak pernah sama seperti sedia kala. There will always be scars...

It is true.... I loved you to death but in the end, I didn’t die. Saya menerima konsep "everything happened for a reason". Tetapi, apa alasan yang jelas untuk membenarkan sebuah perpisahan pilu? Hal yang selama ini telah diperjuangkan akan sirna ­begitu saja dan meninggalkan luka. Satu yang tersisa hanyalah kenangan, dan belum tentu manis pula. Benci, kan?

Namun, terkadang kita lupa bahwa pada akhir­nya, kita hanya bisa menyerah dengan kenyataan. If it’s not meant to be, it never will... Usaha apa pun yang saya lakukan jikalau memang ­bukan ‘jalan-Nya’, apa yang bisa saya katakan? Tidak ada. Saya hanya bisa berharap suatu saat dapat menghilangkan rasa sedih dan kecewa yang mendalam seraya melangkah maju melihat masa depan. Tentu, dengan pikiran bahwa, ­“masih banyak blush-on lain di dunia ini”.