Menjejak Kuala Lumpur, Setelah Sembilan Tahun Terlewatkan Mata

Setelah Sembilan tahun berlalu, apakah Kuala Lumpur menjadi destinasi yang menjanjikan?

Haute Culture

Kuala Lumpur sebuah kota yang menjadi ibukota negara tetangga yakni, Malaysia. Tentu kota ini bukanlah menjadi suatu destinasi yang baru khususnya bagi masyarakat Indonesia untuk berpelesir. Eratnya hubungan negara kita dengan negeri jiran yang satu ini menjadikan, Malaysia layaknya saudara sekandung. Bagi beberapa orang kota yang dapat ditempuh selama kurang dari dua jam melalui pesawat ini, layaknya rumah kedua.

 

Bagi saya pribadi Kuala Lumpur layaknya rumah kedua, setelah Jakarta. Pasalnya keluarga besar dari ibu saya telah menetap disana semenjak tahun 60-an. Semenjak kecil ketika libur sekolah, saya selalu mengunjungi kota tersebut untuk menghabiskan liburan di rumah kakek dan nenek saya. Bermain Bersama sepupu-sepupu dan banyak kenangan manis lainnya dimasa itu.

 

Beranjak dewasa dan mulai bekerja, kesempatan itu semakin berkurang. Hingga kunjungan saya terakhir ke kota tersebut tepat ketika kakek saya meninggal dunia, yakni awal 2014 lalu. Hampir satu dekade saya tidak pernah menginjakkan kaki di negeri tersebut. Kerinduan untuk mengunjugi kota tersebut pun tak terbendung lagi, ketika pembatasan bersosialisasi akhirnya dinyatakan usai. 

 

Awal Januari yang lalu saya pun berkunjung ke kota tersebut setelah Sembilan tahun lamanya tidak berkunjung ke kota yang saya sebut sebagai rumah kedua. Tentu perjalanan tersebut bagaikan kembali menyelami sebuah kehidupan masa lalu, sebuah kenangan masa kecil yang penuh dengan keindahan bersama orang-orang yang sangat berpengaruh di dalam hidup saya. Fase-fase kehidupan penuh suka cita sebagai seorang cucu yang selalu dimanjakan oleh almarhum kakek dan nenek. Saya pun masih ingat momentum kebersamaan ketika anggota keluarga besar saya masih lengkap, baik paman, ayah serta kakak saya.

 

Perubahan yang terjadi dalam sembilan tahun tentu tak hanya hadir dari keluarga saya saja. Tetapi juga dari kota Kuala Lumpur sendiri yang secara infrastruktur telah berubah secara dahsyat. Kota yang memiliki struktur jalan berbukit-bukit ini telah didominasi dengan ragam gedung pencakar langit. Apartemen berkelas yang mengisi setiap sudut kota pun berlomba-lomba menyuguhkan view yang memukau. Fasilitas yang ditawarkan pun tak hanya sekedar hunian, melainkan juga mall yang mengisi bagian dasar dari setiap bangunan.

 

Selain itu yang patut dikagumi dari negeri ini adalah akses transportasinya yang sangat memadai. Pembangunan jalan seperti fly over pun semakin banyak. Hingga menyebabkan masyarakat lokalnya sendiri pun kerap kali harus menggunakan aplikasi waze ketika berkendara, hal ini dikarenakan banyaknya jalan baru yang dibuat, hingga sulit untuk menghafal jalan.

 

Mereka mengatakan bahwa di negara tersebut ketika akan membangun suatu bangunan baru, mereka harus membuat jalan baru terlebih dahulu. Barulah bangunan tersebut boleh berdiri.

Sebagai penduduk Jakarta seperti saya, tentu hal ini sangatlah membuat iri. Karena tak harus berkutat dengan macet sepanjang hari.

 

Disisi lain masyarakat Malaysia sampai saat ini masih sangat mengagumi Indonesia dalam segi estetika, entertainment dan lifestyle. Hal ini sangat terlihat ketika saya dalam perjalanan menuju kota Ipoh, siaran radio lokal di dalam mobil pun kerap kali memutarkan lagu Indonesia. Hal tersebut pun diperkuat oleh sepupu saya yang berwarganegara setempat, ia mengatakan bahwa penyanyi Indonesia hampir setiap minggu bergantian mengadakan konser di Kuala Lumpur, diataranya Afgan, Bunga Citra Lestari, Rossa, Rizky Febian, Tulus dan dalam waktu dekat mendatang Mahalini juga akan hadir disana.   

 

Berbicara mengenai dunia hiburan rasanya tidak lengkap bila tidak membicarakan mengenai industri retail, khususnya fashion. Walaupun Indonesia tetap lebih unggul dengan keberadaan perancang mode dan local brand/label ready-to-wear tanah air. Namun dalam sisi retail international brand, Malaysia tetap lebih unggul. Hal ini terlihat dengan banyaknya brand-brand luar yang telah lama masuk di Malaysia, namun di Indonesia tidak ada. 

 

Sudut pandang saya sebagai pelancong yang telah melewati perkembangan kota ini hampir satu dekade tentu membuat saya terkesima. Dapat dikatakan kota ini memang telah 30 tahun lebih maju daripada negeri kita. Khususnya dalam sisi infrastruktur, ekonomi, kesehatan dan teknologi. Namun satu hal yang kurang memuaskan penilaian adalah, walaupun bangunan pencakar langit dan jalan flyover kerap berlomba-lomba didirikan, nyatanya tidak sedikit pun menggerakkan para penduduk pemilik rumah hunian untuk melakukan pembaharuan untuk kediaman mereka masing-masing. Karena yang saya amati dari sejak 30 tahun yang lalu hingga kini perumahan disekitar kediaman kakek saya maupun di area residensial lainnya tak ada yang berubah. Baik dari sisi bangunan atau pun sekecil perubahan pada cat tembok, semua masih serupa seperti sedia kala. 

 

Hal inilah yang membuat saya bertanya-tanya, bukankah suatu perubahan menjadi baik harusnya berawal dari diri kita pribadi? Yang mana seharusnya semua berasal dari rumah tempat kita berteduh. Well, terkadang memang rumput tetangga tampak lebih hijau, namun setelah kita lihat dekat ternyata hanya tanaman ‘plastik’.