Sebelumnya, saya tidak pernah menganggap teh sebagai sesuatu yang istimewa. Teh bukan pilihan saya untuk mengawali hari atau bahkan ketika sedang duduk di sebuah sudut kafe. Teh cukup saya cari ketika saya sedang merasa tidak enak badan atau butuh menenangkan diri dan secangkir kehangatan yang berbeda. Lalu, saya termenung. Bukankah hal ini yang justru membuatnya istimewa? Bagaimana mungkin tidak? Seolah secangkir teh hangat memiliki kekuatan magis untuk membuat diri, secara lahir dan batin menjadi lebih baik. And, here I am writing this with a cup of Ceylon Rose and Mint Tea from Dilmah.
Dengan pengalaman selama lebih dari 30 tahun, Dilmah kian berinovasi untuk mengupas sisi terbaik dari teh. Tidak hanya dinikmati dalam sebuah cangkir, kini teh pun dapat ditemukan dalam sebuah hidangan yang tersaji di atas piring atau minuman koktil dengan gelas kacanya. That's how amazing it is. Sesuatu yang mungkin terkesan janggal pada awalnya, namun sungguh dapat dinikmati. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, apakah mungkin selama ini teh pun sebenarnya tidak hanya sesederhana sebuah racikan untuk diminum? Apakah mungkin sesungguhnya para moyang pun tidak bertujuan untuk menjadikan teh sebagai suatu objek yang sederhana? Sebuah elemen baik dari bumi rasanya amat disayangkan jika hanya harus berakhir di sebuah cangkir manis.
Dengan demikian, beragam kompetisi sudah dilangsungkan oleh Dilmah sebelumnya untuk membangkitkan semangat setiap individu profesional di dunia kuliner dalam mengulik lebih jauh tentang teh. Mendorong setiap dari mereka untuk menemukan hal-hal yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikirkan. Seperti dengan diadakannya Tea Inspiration for the 21st Century, sebuah ajang pertandingan bagi para profesional di dunia kuliner di mana mereka harus menyajikan hidangan berupa makanan dan minuman dengan penggunaan teh di dalamnya. Pada tanggal 19 dan 20 Agustus lalu, 23 tim dari hotel, restoran, dan cafe ternama dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali turut berpartisipasi dalam ajang ini. Juri yang memberikan penilaian pun merupakan para expertise, seperti putra penemu Dilmah, Mr. Dilhan Fernando beserta Peter Kuruvita, Chandra Yudasswara, dan Tomek Malek.
Sempat menyaksikan bagaimana proses penjurian berlangsung, saya melihat bahwa setiap unsur dari hidangan sungguh-sungguh dipertimbangkan. Karya yang dihidangkan para koki perlu memenuhi tujuh dimensi, yaitu budaya, personal, kuliner, mixology, sustainability, teh dan harmoni. Dengan waktu yang terbatas, sajian yang dihidangkan menjadi jauh dari kata sederhana. Tentu bukan penilaian yang mudah dan mendorong kreativitas para peserta sampai pada batasnya. From that moment on, my whole perspective about tea was changed. Terbukti bahwa teh merupakan sebuah elemen kompleks yang tidak selayaknya terhenti hanya dalam sebuah cangkir dan diseduh dengan air panas.