Bagi seorang fashion reporter yang ditugaskan menghadiri acara pameran seni, agaknya menjadi sebuah pengalaman baru yang saya kira akan menjadi tantangan. Hingga tiba pada suatu sore hari, ditemani rintikan hujan di Ruang Dua Sembilan, Tomang, dan tidak menyangka itu akan begitu membekas di hati.
Melihat dinding dengan lukisan yang terpasang, jiwa manusia awam saya mengajukan banyak pertanyaan literal kepada sang pelukis, Triyadi Guntur Wiratmo. “Kenapa singa ada yang di luar dan di dalam lukisan?” “Siapa orang-orang yang ada di lukisan ini? Kenapa menghadap ke belakang?” Dan pertanyaan lain yang tidak saya sadari menjadi inti dari pameran Triyadi kali ini, berjudul ‘An Adventure in Monodualism'.
Dengan penuh penjelasan, Triyadi menggambarkan lukisannya, “ini sindiran”. Seekor singa yang sama dari dalam pigura lukisan Raden Saleh melihat dirinya sendiri. “Terkadang orang melebih-lebihkan sesuatu, seperti di lukisan karya Raden Saleh mengagungkan singa yang beradu dengan manusia. Di mana kenyataannya, mungkin singa itu terkurung, hampir punah.” Ungkapnya.
Sebuah filosofi yang baru pertama kali saya dengar, di mana dua entitas yang saling berseberangan, tidak untuk saling berhadapan, tetapi untuk dipersatukan. Sehingga secara harmonis memunculkan makna baru. Terlalu banyak sindiran, terlalu unik diterima pikiran, namun memberi rasa baru di hati. Dalam sekejap teringat kehidupan sehari-hari saya. Ada bagian dari diri yang ditampilkan dan ingin dipuji orang, ada diri yang lelah dipandang orang seraya melihat kenyataan bahwa saya bukan siapa-siapa, and in between, there’s me. Just a regular human being, standing in front of the painting, mesmerized by the meaning.