Di suatu siang yang cerah, dengan suhu udara lebih panas dari hari sebelumnya, sebuah pesan WhatsApp mewarnai telepon selular saya dari seorang teman yang juga klien kerja saya untuk beberapa project. Awal kalimat pesannya adalah “Hai apa kabar, Za? Sedang sibuk? Boleh ku telepon?” Dari kalimat yang diungkapkan dalam pesan tersebut bagi saya seolah menyiratkan distorsi, antara ada sesuatu yang urgent namun dikemas dalam suasana yang casual. Kendati demikian intuisi saya mengatakan pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Namun saya tetap ber-positive thinking semoga kabar yang akan disampaikan melalui telepon pasti berisi kabar baik. Dan seketika ia menelpon, pembicaraan mulai bergulir. Bahwa inti percakapan tersebut berisi curahan hati mengenai kenapa akhir-akhir ini seringkali orang yang sama profesi saling bersaing harga untuk mendapatkan suatu proyek, namun berujung justru menghancurkan harga pasar yang ada.
Misalnya profesi fashion stylist yang saat ini sedang menjamur, jika dibandingkan sepuluh tahun lalu, menawarkan harga yang tak masuk akal kepada calon klien. Entah itu harga setinggi langit dengan jam terbang yang belum seberapa, ataupun harga rendah dengan embel-embel benefit yang dalam kode etik profesi tersebut jarang dilakukan oleh pemain profesi lainnya.
Persaingan ketat antara profesi memang wajar untuk dilakukan. Tetapi bila persaingan dilakukan dengan cara tidak sehat, itu yang justru menimbulkan ketidaknyamanan antara pelaku profesi.
Memang setiap orang wajar melakukan apa yang disebut dengan “Do extra miles” dengan berbagai package yang terlihat sexy dimata klien. Namun jika Anda sebagai klien coba perhatikan lagi secara seksama, hasil apa yang Anda dapat dengan mendapatkan harga yang murah? Ada harga pasti ada rupa.
Sama halnya jika Anda belanja di online shopping, tentu harga yang ditawarkan jauh lebih murah. Namun apa yang Anda dapatkan? Respon penjual tidak instant, lalu membutuhkan waktu tunggu minimal satu hari dari setelah pemesanan, selain itu Anda tidak bisa meraba material produk tersebut dan hanya mengandalkan foto yang ditampilkan, sambil berdoa dalam hati semoga ketika barang sampai tidak mengecewakan.
Nah maka begitu pula dengan bertaruh kepercayaan kepada sang pemberi jasa dengan harga dibawah pasaran. Sudah barang tentu memerlukan banyak berdoa. Mengencangkan ikat pinggang, untuk mendapat harga yang dibawah rata-rata mungkin adalah suatu prestasi, tetapi bila prestasi yang diperoleh adalah hasil menari-nari diatas penderitaan orang lain itu adalah suatu perbuatan tidak bermartabat.
Jadi Anda lebih pilih yang mana? Membeli dibawah harga pasar atau membeli sesuai dengan pasaran yang ada?
Photo by Skylar Kang - Pexels.com