No pants, no problem. Sebuah caption pada sebuah postingan mendadak menjadi perhatian saya di tengah panasnya siang, di hari silaturahmi lebaran minggu lalu. Tentu saja unggahan berita tersebut muncul dari para selebriti Hollywood yang paling bisa dalam menggemparkan media sosial.
Tepatnya pada akun @entertainmenttonight yang merangkum para aktris papan atas negeri Paman Sam, dalam busana tanpa bawahan. Lagi-lagi mendobrak khasanah berpakaian yang seharusnya. Kaidah berpakaian yang harusnya menutup bagian-bagian tubuh yang biasanya ditutup, justru diumbar ke masyarakat dunia. Mereka adalah Sofia Vergara, Margot Robbie, Beyonce, Kristen Stewart, dan beberapa lainnya yang dengan bangga memproklamirkan tren tersebut.
Celana super pendek dan ketat yang meyerupai pakaian dalam ini kini bebas berseliweran di red carpethingga jalanan umum. Seolah tanpa ada rasa risih dan percaya diri dalam memamerkan lekukan tubuh mereka. Apakah ini sebuah tren terbaru? Hhmm,… dapat dikatakan seperti itu. Sama halnya ketika dress wanita yang dikenakan para aktor Hollywood sejak beberapa tahun lalu. Yang mana menyisipkan pesan bahwa saat ini adalah masanya kesetaraan gender. Maka siapa pun yang melihatnya tak pantas berkomentar dan hanya menelan secara apa adanya kenyataan yang ada saat ini.
Bahwa siapa pun wajib menerima situasi kebebasan fashion saat ini. Kebebasan yang menempatkan ekspresi seni diatas segalanya, dan realitas jaman harus diterima lapang dada tanpa negosiasi.
Kendati kebebasan berseni tersebut cocok atau tidak dengan kaidah berpakaian dan norma masyarakat, itu urusan belakangan, karena yang terpenting adalah ‘wow effect’ yang membuat semua mata tertuju dan menekan tombol like. Sebagian orang yang cukup terbuka terhadap riuh rendah pergolakan tren pakaian mungkin hanya melihat hal tersebut sebagai ‘bunga’ dari kreatifitas seni dalam berpakaian. Namun bagaimana dengan mereka yang hanya memperhatikan fashion hanya dari permukaan, mungkin hanya terheran-heran.
Mungkin mereka akan melihat ini sebagai cikal bakal kehancuran bumi. Bahwa kehancuran tak hanya berupa perselisahan gencatan senjata antara negara di dunia, melainkan justru timbul dari mentalitas para penduduk bumi ini. Maka jangan heran bila di kemudian hari nantinya, kita menemui orang-orang tanpa seutas benang ditubuhnya melakukan aktivitas di area publik. Dan jangan melabel seseorang telah ‘kena mental’ jika berbusana diluar aturan yang seharusnya, karena tren telah bergeser menjadi lebih “semau gue”.
Disisi lain bukan tak mungkin bila fenomena ini nantinya akan dimanfaatkan para pebisnis perfilman yang mencoba mengingatkan melalui film siksa ini atau siksa itu. Bahwa perhitungan akan kelakuan manusia selama hidup di dunia itu akan ada di akhir kehidupan manusia. Walaupun ujung-ujungnya film-film tersebut mungkin hanya bertujuan mengeruk cuan.
Untuk itu bersiaplah pada peraturan restoran/club di tahun 2039 mendatang yang ‘agak laen’ biasanya hanya tertulis “no jeans, no sandals” bertambah menjadi “no jeans, no sandals, and no pants”.